7

324 81 68
                                    

Bibir jendela tempat biasa diriku merenung dan mengenang tentang Delesia. Tempat sama di mana kami saling bertukar cerita telah tertutup rapat. Delesia adalah bagian hidupku yang sudah hilang. Aku tidak bisa melupakannya karena Delesia bisa mengerti dan menerima kekuranganku. Sebagai cowok yang tuli sejak kecil dan sulit menuturkan kata-kata lewat pita suara karena tak pernah mendengar indahnya potongan nada yang ada di dunia ini.

Bibir jendela tempat biasa diriku memikirkan dan berandai tentang si gadis ujung jalan nampak sepi. Aku memang tak mengenal si gadis ujung jalan. Namun, dirinya telah singgah dalam hati ini sehingga ia berhasil membantuku untuk memaknai arti kehilangan sebenarnya. Di mana, penyesalan itu datang diakhir.

Andai aku lebih percaya diri. Semua ini pasti tidak akan terjadi.

Malam ini aku berdiri di depan jendela kamarku. Menyaksikan pemandangan malam yang terpampang dari luar sana. Biasanya aku dapat menyentuh angin dan melihat sinar bulan lebih jelas ketika duduk di bibir jendela. Kali ini tidak. Jendela itu berhasil memisahkan kami.

Sementara aku masih menggenggam sepucuk surat itu. Surat yang bernodakan darah. Dari si gadis ujung jalan. Pelan aku membukanya karena masih basah akibat terendam air hujan. Takut dirinya sobek sia-sia.

Haru aku membacanya karena tak akan pernah melihatnya lagi. Untaian kalimat yang ditulis dengan setulus hati berhasil membuat hatiku bergetar dan bulu kudukku bergidik walaupun noda tinta itu memudar karena lembap ditambah bercak darah yang merembes hingga isi surat.

"Maaf aku nggak pandai dalam merangkai kata. Tapi aku coba menulis surat ini takut keesokan harinya kita nggak bisa bertemu. Nanti kan bisa aku titip ke cewek penjaga toko buku yang jutek itu. Pokoknya aku berharap kita bisa ngobrol setelah kamu nerima surat ini. Jangan malu lagi, ya! Oh iya, namaku Ka ..."

Pada kalimat itu tangisku pecah karena nama lengkapnya tertutup noda darah. Bahkan bumi tak membiarkanku 'tuk mengenalnya. Ka ... Ka ... sebenarnya kau siapa? Aku tidak mau mengenalmu sebagai gadis ujung jalan. Aku butuh nama lengkapmu.

Selagi tangisku pecah surat itu kutaruh tepat disamping bingkai foto yang menampilkan kebahagiaanku bersama Delesia. Dalam kurun waktu dua tahun, Reno, si cowok pecandu kata-kata sudah kehilangan dua orang yang ia sayang.

Tulangku merasakan dinginnya udara malam yang menusuk ditambah kepedihan yang melanda hati seolah tidak menemukan titik akhirnya. Namun, dinginnya malam itu tidak seperti biasa. Aku melihat ada sepasang tangan pucat yang melingkari tengkukku.

Lewat refleksi dari kaca jendela aku bisa melihat Ka tengah merangkulku. Tersenyum malu, seperti yang biasa dia lakukan padaku saat tak sengaja bertemu di trotoar.

Ka ... maafkan aku.

-End-

Bibir Jendela (DONE) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang