4

271 86 29
                                    

Belum pernah seumur hidup aku merasakan api semangat yang berkobar seperti ini. Mengisyaratkan bahwa sudah mantap ingin mengenalnya. Si gadis ujung jalan. Aku penasaran bagaimana reaksi tubuhku ketika melihatnya tersenyum. Jika saja pada detik itu aku kritis. Setidaknya, aku bahagia.

Namun aku terlalu cepat untuk berpendapat.

Langkah kaki ini terpaku karena melihat si gadis ujung jalan baru saja keluar dari toko buku itu. Seolah rencana yang kuramu semalaman lenyap karena rasa gugup tatkala bertemu dengannya.

Demi menyelamatkan wajah yang memerah terbakar malu aku berpura-pura tak acuh mendongak ke arah pencakar langit. Teknik ini juga dapat membantuku agar tatapan kami tak lagi bertautan.

Lagi, aku terlalu cepat untuk berpendapat.

Kedua mata ini melirik iseng ke tempat si gadis ujung jalan berdiri. Dan di sanalah dirinya berhasil membuatku membeku sekali lagi. Dirinya yang nampak imut. Berdiri, menunggu dan sabar. Dengan pakaian yang kontras bahkan terkesan tabrakan warnanya.

Akankah hati dan pikiran bisa senada? Bagiku tidak. Jauh di lubuk hati ini aku ingin melambai kepadanya. Namun, pikiranku memutuskan untuk diam menyerahkannya pada perasaan malu.

Kemudian ia membidik mata birunya itu ke pencakar langit seakan mengorek informasi yang baru saja kulakukan barusan. Gadis itu tidak tahu alasanku mendongak adalah dia. Namun ia tetap mencari untuk memastikan ada hal menarik di atas sana. Padahal yang menarik adalah dia.

Ia tak dapat menemukan apa-apa di atas sana sehingga kata bisu dapat mewakili kondisi kami setelahnya. Di satu sisi aku takut ia mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Di sisi lain, aku merasa bahwa ia siap untuk mengenal diriku.

Namun, aku tidak siap.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi menyebrang ke ujung jalan menyimpan rasa penasarannya yang lebih terkesan pada rasa kecewa karena segalanya tak sesuai ekspektasi. Begitupun aku.

Andaikan aku lebih percaya diri.

Sebelum ia benar-benar pergi dan aku masuk ke dalam toko buku untuk menjalankan rutinitas. Aku mencoba untuk menyempatkan diri menengok ke ujung jalan berharap bahwa dia berputar arah kembali padaku. Namun, pikir ini terlalu berpusat pada kepingan cerita romantis yang pernah kubaca menawarkan adegan manis.

Sementara dunia nyata jauh lebih kejam dari itu. Sial. Dia tak kembali.

Selagi menyesali perbuatan tadi. Aku melihat Linda tengah menguncir rambutnya. Masih sama. Terpampang buku yang ada di pangkuannya. Mungkin dia bisa membantuku mencari tahu jawaban mengenai gadis ujung jalan.

"Perempuan tadi, siapa namanya?" tanyaku.

Linda, seperti biasa dia tak banyak omong dan membalas pertanyaanku dengan mengangkat kedua bahunya sementara tangannya dibuktikan memindahkan kuncir rambut yang sedari tadi digigit, "Tapi dia nanyain lo," balasnya lalu melekatkan tatapan dinginnya padaku.

"Masa sih?" tanyaku, lagi.

"Iya, dia juga beli novelnya John Green."

Ingin aku berlari mengejarnya. Namun dirinya telah lenyap ditelan kejauhan. Hujan di tengah Bulan November pun pecah membasahi aspal kering di luar sana. Cuaca itu lucu. Mereka bisa berubah tanpa harus lelah diprediksi seolah mewakili perasaanku detik ini.

Andai aku mengerti pasti kita sudah saling mengenal. Si gadis ujung jalan. Kuharap besok waktu mempertemukan kita.

***

Bibir Jendela (DONE) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang