3

284 95 45
                                    

Kegelapan kembali menguasai belahan bumi tempatku tinggal. Dari bibir jendela aku menyaksikan cahaya yang berasal dari pusat kota. Mereka nampak kecil dan indah seperti kawanan kunang-kunang menyinari dataran hijau.

Lagi, aku dibuat mengenang dia. Membayangkan hal yang mustahil untuk terjadi. Kesempatan kedua, percakapan mengenai sorotan sinar bulan dan lembut telapak tangannya kala menyentuh kedua pipiku. Kenangan itu berhasil memukul rontok hati ini.

Lambat laun ombak kegelapan mulai meredupkan cahaya-cahaya gedung di perkotaan. Dan aku masih duduk termenung di bibir jendela bersama dinginnya malam menggelitik tulangku juga kenangan tentangnya yang perlahan merusak bagian amygdala-ku.

Untuk sesaat aku menyesal telah mengenal perempuan itu. Tapi aku bisa apa? Menyalahkan waktu?

Helaan napasku yang berat menyatu dengan udara malam. Tempo napas berat itu mengingatkanku dengan si gadis ujung jalan. Di mana saat tatapan kami saling bertautan, aku langsung membuang wajah yang memerah.

Ya, aku menyebutnya helaan napas orang gugup. Unik, bukan?

Jauh di lubuk hatiku terdalam. Ia bertanya pada jantung. "Mengapa dirimu berdegup tak keruan ketika memandangnya?" Jantung tidak menjawab. Detakannya semakin kuat ditambah aliran darah yang tiba-tiba mengalir cepat menuju otak.

Begitu aku mengingatnya rasa penasaran mulai menyelimuti. Kira-kira dia siapa? Mengapa kami bisa bertemu dengan cara seperti itu? Maksudku, tidak bertemu tatap muka. Namun keanggunannya dan wajahnya yang imut itu ... seolah langsung akrab dalam memori ini.

Aku tidak tahu kau siapa. Aku hanya berharap kau merasakan hal yang sama sepertiku. Si gadis ujung jalan.

***

Bibir Jendela (DONE) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang