"Tugas kali ini adalah membuat makalah tentang masalah sosial yang akan kalian teliti dengan dua teman kalian. Kelompok akan saem bagi." Koor mengeluh dari seluruh penjuru kelas mulai terdengar menyesakkan udara.
"SAEM!" Seorang anak lelaki menaikkan tangannya hendak memprotes, " Saya tak keberaan bekerja sendiri."
"Tidak, Lee Seokmin. Tugas ini membutuhkan teman kelompok. Dan nilai juga akan saya masukkaan berdasar nilai kelompok." Seokmin mendengus tak suka, dia menghempaskan kepalanya ke atas meja. Pastilah salah satu dari mereka akan tetap menjadi teman satu kelompoknya mau tidak mau.
"Lee, kalau sama aku bagaimana?" Suara dari seorang lelaki dengan nada riang mengusik Seokmin. Seokmin bergetar. Selalu seperti ini. Jika ada yang mengajaknya berbicara. Ia akan berubah menjadi penakut entah kapan dan darimana asalnya.
"Kwon. Menjauhlah. Biar aku yang urus kau tak usah ikut campur." Seokmin menghalau pandangannya dan mengarahkannya ke arah lapangan sepak bola di seberang.
"Ayy, tak bisa seperti itu. Ini 'kan kerja kelompok. Mana mungkin aku membiarkanmu menyelesaikan semuanya sendiri.
"Sudahlah! Ikuti saja kata-kataku. Kujamin nilaimu akan diatas rata-rata." Bentak Seokmin ke arah pemuda bermata sipit tersebut. Soonyoung yang dibentak hanya meringis kaget. Sudah dari lama ia ingin berteman dengan Seokmin yang sepenuhnya menutup diri dari luar dan tak ada yang bisa mendobraknya sekalipun. Soonyoung yakin, di dalam lubuk hatinya ia sangat kesepian. Gertakan Seokmin membuat Soonyoung kembali duduk di tempatnya dan termnun memandangi pemuda jangkung tampan tersebut.
"Ku harap kita bisa berteman Seokmin."
"Aku tak ingin." Suaranya bergetar dan ia segera menetralkan kembali helaan napasnya yang sempat memburu marah. Dia pun tak tahu mengapa. Sudah lama ia datang ke therapyst untuk menyembuhkan phobianya terhadap orang-orang. Tapi, Seokmin masih belum mendapatkan jalan keluarnya hingga saat ini. Itu yang membuatnya gusar.
Ia tak ingin menyakiti hati orang-orang yang mungkin berniat membantunya namun ia malah membalasnya dengan kata-kata kejam yang menyakitkan hati.
"Kalau kau butuh bantuan, aku akan segera datang, Lee Seokmin." Lanjut Soonyoung dengan senyum lebarnya hingga matanya tak terlihat lagi, "kau bisa mati mengerjakan makalah itu sendirian."
"Terima kasih, tapi aku tak butuh." Seokmin mengetuk-ngetuk mejanya menghilangkan syndrome yang masih membuatnya pening dan mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya tak ingin ia lontarkan.
"Aku tahu kau pasti butuh. Aku yakin."
"Terserah kau, Kwon."
"Seokmin, ikut Saem ke ruangan saya setelah kelas berakhir." Wen Saem mengetuk meja Seokmin yang dibalas dengan helaan napa berat tak setuju dari sang pemilik meja.
"Ada apa? Saya tidak melakukan apapun yang salah." Seokmin menatap gurunya lamat-lamat. Gurunya itu tersenyum tipis dan mengangguk membenarkan.
"Memang kau tak berbuat salah, tapi Saem ingin berbicara empat mata denganmu, Seokmin-ah." Gurunya itu berjalan menjauhi meja anak didiknya yang satu itu dan melanjutkan acara pembelajarannya.
***
"Kau perlu bersosialisasi Seokmin. Tak selamanya kau bisa mengendalikan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Kau lihat, masih banyak mereka yang peduli padamu. Ayo coba perlahan, jangan ikuti ego dan phobiamu. Ayo kita selesaikan bersama." Wen Junhui. Sepupu sekaligus Seonsaengnim-nya tersebut.
"Hyung, kau tahu aku bagaimana. Jangan paksa aku." Junhui adalah satu-satunya orang yang ia percaya di dunia ini. Karena semua orang yang ia percayai dulu, mengkhianatinya dengan indah. Hingga membekas pada diri Seokmin hingga sekarang.
"Aku tak memaksamu, Seoku. Tapi kau harus segera berubah. Demi kau sendiri, demi masa depanmu." Junhui menatap Seokmin dengan raut memohon. Dia juga kasihan dengan sepupunya tersebut. Seokmin mengalami masa yang kelam. Dan ia harusnya bangkit, bukan makin tenggelam di dalam kapal memori gelap tersebut.
"Aku tak peduli. Toh aku sudah tidak punya masa depan."
"KAU BERBICARA APA SEOKMIN?! Demi Tuhan, umurmu masih 17 tahun! Kau masih bisa hidup dengan usia yang panjang. Pergunakan baik-baik." Junhui memijat pelipisny. Menghadapi Seokmin dengan cara lembut tak akan berhasil baginya. Sesekali ia harus dikeras juga. Pikir Junhui.
"Sudahlah hyung, aku masih hidup detik ini juga harusnya adalah esuatu yang perlu dibanggakan." Seokmin bangkit dari tempat duduknya. "Seharusnya jalanan sini sudah sepi melihat jam istirahat akan segera habis. Aku kembali dulu." Seokmin membungkuk sedikit dan keluar dari ruangan Wen Junhui.
"Lee Seokmin, ottokhaji?"
Seokmin mengeluarkan suatu kertas dari dalam sakunya. Ia membaca kalimat demi kalimat motivasi yang membuatnya tetap tenang dan menjauh dari obat penenang. Motivator lebih ampuh dibandingkan obat penenang, lagian memang ia belum mau mati. Setidaknya tidak jika anjingnya, Coco juga masih hidup.
BRUK.
"Sesangae!" Suara pemuda di depannya dengan kertas berjatuhan membuat langkah kaki Seokmin terhenti. Ia menabrak seseorang dengan akibat yang cukup fatal. Kakinya membeku dan keringat dingin mulai bercucuran. Apa yang harus aku lakukan?! Kenapa kaki ini dan lidahku sangat kelu?! Kapan semua ini akan berakhir!!! Seokmin menjerit dalam hati. Ia mengumpat kepada Wen Junhui. Seharusnya ia tetap tinggal di dalam kelas dengan mata tertutup damai. Bukannya merasakan pening dan ketakutan yang luar biasa seperti ini.
Langkah kakinya mundur setelah pemuda di depannya selesai membereskan kertasnya, ia pun bangkit dan menatap Seokmin dengan penuh tanda tanya.
"Mianhae, apa kau tak apa?" Setelahnya yang Seokmin ingat mata bulat dan wajah bak kucing kecil itu membuatnya berbalik dan berlari linglung menuju atap sekolah. Tempat dimana ia selalu menenangkan pikirannya.
"Tenang Seokmin, kau masih ingin hidup bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
social phobia ¤ seoksoo
Fanficsocial phobia (noun) fear of getting involved with people.