"Ah tidak, aku hanya ingin tahu apakan Jihoon baik-baik saja? Aku tak mendengar kabarnya dua hari ini." Seokmin menoleh karena merasa ia pernah mendengar suara madu tersebut. Pemuda manis yang beberapa hari lalu menabraknya sedang berbicara dengan Soonyoung. Seokmin membelalakkan matanya kaget dan jantungnya berdentum dengan kencang, peluhnya mulai mengucur dari pelipisnya. Ia menelungkupkan wajahnya menenangkan diri. Suara lelaki tersebut mengalun merdu di kedua telinganya, syndrome yang ia rasakan entah kenapa berangsur hilang. Ia menghela napas pelan dan ssekali mencuri dengar pembicaraan Soonyoung dan pemuda manis yang ia ketahui bernama Jisoo. Dan, ia adalah kakak tingkatnya.
Seokmin merapalkan beberapa kata motivasi yang biasa ia baca saat syndrome-nya menyerangnya. Tak lama kemudian, pemuda manis tersebut keluar dari kelasnya. Seokmin menghembuskan napas pelan.
"Kau tak apa, Seokmin?" Soonyoung menatapnya khawatir. Seokmin berdecih mendengarnya dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela kembali.
"Ini bukan urusanmu Kwon. Jangan ikut campur." Aku butuh pertolongan, tolong aku.
"Kau yakin? Kau terlihat sakit, Seokmin." Iya, sangat sakit. Hingga aku rasanya ingin mati.
"Jangan sok tahu, Kwon. Kau tak tahu apa-apa." Aku ingin berbagi dengan seseorang, tapi aku tak bisa.
"Aku tahu, Seokmin. Tahu. Kau hnya perlu percaya. Entah itu kepadaku ataupun ke orang lain yang mungkin bisa membantumu." Bisakah aku? Bisakah?
"Omong kosong." Seokmin menutup mata dan telinganya dan menghiraukan apapun itu yang Soonyoung katakan. Karena pada dasarnya akan sama saja, tak akan ada perubahan dalam dirinya.
***
Seokmin merebahkan tubuhnya di atas kasur miliknya. Matanya menerawang ke atas langit-langt kamarnya yang ia cat dengan warna-warna terang. Menghembuskan napas kasar dan bangkit dari posisinya menuju dapur apartemen miliknya. Rumah yang pernah ia tinggali dengan keluarganya ia lebih memilih menjualnya. Tinggal di apartemen yang lebih kecil dibandingkan harus tinggal di sebuah rumah penuh kenangan yang makin membuatnya terluka tak akan mengubah segalanya.
Tangannnya membuka lemari yang biasanya ia gunakan untuk menyimpan ramen, makanan sehari-harinya. Dan sialnya, lemarinya kosong. Ia hraus membeli persediaan kembali. Dan itu yang paling ia takutkan. Maka dia memutuskan untuk menahan laparnya dan berbelanja pada saat tengah malam nanti ketika manusia-manusia yang sangat ingin ia hindari berkurang kuantitasnya.
Seokmin menuju couch krem yang menghadap ke arah televisi besar miliknya. Ia tekan tombol on dan matanya menatap kosong ke depan. Kebiasaannya selama 10 tahun ini. Memori menyakitkan kembali menghantam otaknya. Malam dimana keluarganya pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya. Malam dimana ia kehilangan pondasi hidupnya. Dan malam dimana Lee Seokmin yang hangat dan ceria menjadi Lee Seokmin yang sekarang.
Bulir air mata tak dapat ia tahan lagi, ia lelah dengan semua ini. Lelah terhadap dirinya sendiri. Dan juga lelah terhadap hidupnya yang menyedihkan seperti ini.
"Coco-ya!" Seokmin memanggil anjingnya yang disahuti dengan gonggongan memilukan seolah-olah anjing tersebut merasakan kesedihan seperti yang di alami majikannya.
"Ku harap kau hidup dengan umur panjang. Hingga alasan hidupku tetap bertahan." Seokmin mengusak lemah Coco yang ada di pangkuannya.
***
Seokmin mengeratkan mantelnya dan memasang masker serta topinya untuk menutupi sebagian tubuhnya kecuali matanya. Ia menapaki jalan dengan cepat menuju mini marker dekat apartemennya. Langkahnya yang lebar membuat nya cepat sampai di mini market dalam hitungan menit.
Sesampainya, ia melihat mini market sangat sepi dan ia benar-benar bersyukur akan itu. Ia segera memasukkan banyak-banyak ramen dan memutuskan untuk membeli beberapa susu untuknya lalu segera membayarnya di kasir dengan wajah tertunduk. Ia memutuskan untuk memakan satu ramennya disini mumoung tidak ada orang juga.
Seokmin berjalan menuju mesin pembuat ramen dengan kantong belanjaan di genggamannya. Setelah selesai, ia segera duduk di depan mini market yang menyediakan temat duduk meskipun hanya satu.
"Ah sialan. Kenapa udara sangat dingin sih. Hidungku sudah mulai berair. Oh my God." Suara honey itu lagi. Seokmin mematung saat orang itu duduk di sebelahnya. Seokmin menatap Jisoo yang menatapnya sambil tersenyum lebar. Hidungnya terlihat memerah tak keruan. Ia hanya memakai jaket tanpa coat yang tebal.
"Halo. Kau Seokmin bukan? Kenalkan aku Jisoo. Hong Jisoo. Kau tak perlu memanggilku hyung. Jisoo sudah cukup. Oh iya kau sedang apa disini Seokmin?" Jisoo menatap Seokmin intens dengan senyum yang tak luntur dari wajah manisnya itu. Seokmin merasa syndrome-nya mulai menyerangnya.
"Pergilah. Aku tak butuh."
"Seookmin-ah ada apa? Aku melukaimu waktu itu? Aku minta maaf." Jisoo merasa Seokmin gemetar dan pupilnya bergerak kesana kemari. Seokmin menggeram pelan dan bankit dari duduknya, berbalik dan bersiap berlari dari sini asalkan tidk berbicara dengan Jisoo.
"Seokmin!" Terlambat. Jisoo memegang lengan Seokmin erat membuat Seokmin semakin menggeram dngan pening yang ia rasakan sangat menyakitkan.
"Tolong.. Lepas," Jisoo menggeleng pelan, ia membalik Seokmin hingga mnatap dirinya. Mata kucingnya menatap Seokmin dalam, menelusuri mata kelamnya yang menyimpan banyak kesedihan dan juga kenangan yang pasti menyakitkan.
"Pasti berat ya?" Jisoo mengelus pipi Seokmin seolah merasakan kesakitan Seokmin. Bibirnya bergetar menahan tangis. Seokmin memejamkan matanya. Ini salah. Pikirnya.
"Lepas..." Seokmin meminta dengan suara serak yang menahan sakit yang sangat. Jisoo mengelus kepala Seokmin.
"Sshh, it's okay. It's okay. Kau tidak sendirian, Lee Seokmin." Jisoo dengan beraninya memeluk Seokmin yang terbelalak kaget. Entah kenapa, perasaannya berubah menjadi tenang. Kepalanya terkulai di atas bahu seseorang yang bahkan belum ia kenal. Tangisnya pecah dan tangan Jisoo masih setia menenangkan Seokmin.
"Nomu appo."
KAMU SEDANG MEMBACA
social phobia ¤ seoksoo
Hayran Kurgusocial phobia (noun) fear of getting involved with people.