Part 3 - Makan Malam

61 3 1
                                    

Part 3 - Makan Malam

"AGA!" seru seorang wanita cantik yang memiliki mata seindah purnama. Tapak kakinya menggema. Senyum tak lepas dari bibir yang telah dipoles lip gloss warna merah muda..

Aga tengah bersantai di sofa yang terletak di ruang baca --perpustakaan keluarga. Fokusnya yang semula pada buku teralihkan. Wajah masam tergambar jelas di wajah tampannya tat kala mendapati wanita itu menghampirinya. Jika saat itu, Aga memiliki pintu kemana saja, ia ingin pergi ke tempat nan jauh. Sejauh mungkin, hingga ia tak bertemu wanita itu.

"Untuk apa kau datang kemari?" tanya Aga. Terang-terangan menunjukkan kalau kehadiran wanita itu mengganggunya.

"Mengajakmu makan malam," Wanita itu menjawab. Sembari tangannya mengusap pelan bahu Aga.

Merasa tak nyaman. Aga mengelak. "Aku sibuk, Lia. Lebih baik kau makan malam sendiri."

Wanita yang dipanggil Lia tersebut memberengut. Aga tetaplah Aga. Pria yang tak mudah tersentuh.

Sejauh ini, Lia berusaha meruntuhkan dinding pembatas yang Aga bangun untuknya. Sejak pertama keduanya dipertemukan, Aga lebih dulu menunjukkan ketidaksukaan kepadanya. Lia tahu betul, Aga tak menyetujui perjodohan ini. Namun bagaimanapun, perjodohan ini harus tetap berlanjut. Kedua orangtua mereka memiliki komitmen kuat. Sekeras apapun Aga menentang. Hal itu akan sia-sia. Membuang-buang waktu saja.

"Tega sekali kau membiarkan aku makan seorang diri!" Lia merengek. Mendengar rengekan Lia yang dibuat-buat, Aga menutup buku cukup keras. Hal itu tak membuat rengekan Lia terhenti, malah semakin menjadi. Terlebih kedatangan Friska, mama Aga, membawanya kepada keberuntungan. "Tante Friska ... anakmu benar-benar kejam! Dia menolak ajakanku untuk makan malam bersama. Lebih kejam lagi, dia menyuruhku makan seorang diri. Padahal dunia pun tahu betul, lusa nanti, kami menjadi pasangan suami-istri. Seharusnya calon suami tidak membiarkan calon istrinya makan seorang diri."

Lia berlari, memeluk lengan Friska. Mendengar aduan Lia. Friska tak diam saja.

"Kau tidak boleh seperti itu Aga," seloreh Friska.

Aga mendengkus. Jika Friska sudah turun tangan, Aga tak bisa menentangnya. Dengan berat hati, Aga mengangguk. "Pukul tujuh. Tempatnya sesukamu." Lekas ia meninggalkan ruangan itu. Berurusan dengan mereka membuat kepala Aga menjadi pening bukan kepalang.

Sejujurnya, Aga lelah dengan sikap Lia yang kekanak-kanakan. Bagaimana bisa, wanita itu menjadi seorang istri jikalau sikapnya seperti itu. Orangtuanya salah pilih. Perjodohan ini tak bisa untuk dilanjutkan.

Tiba-tiba saja, senyum Aga tersungging. Kala sekelabat wajah Valin memenuhi pikirannya. Layaknya film layar lebar, pertemuannya dengan Valin terputar di dalam otaknya. Kala mereka pertama kali berjumpa, saat ia mencium bibir Valin. Aga dengan beraninya mencium wanita itu di depan umum. Kemudian, kala pertemuan kedua di kantornya. Tanpa berpikir dua kali Aga menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris kepada Valin yang kemudian ditolak mentah-mentah. Dan, pertemuan ketiga, terjadi dua hari lalu, ketika ia sedang berkonspirasi dengan pewawancara yang bekerja di perusahaan milik teman papanya. Supaya menolak lamaran Valin.

Kala itu, takdir mempertemukan mereka. Aga senang bukan main. Bertemu dengan Valin adalah musim semi baginya, yang menghangatkan seluruh sel-sel darah di tubuhnya.

Aga berjalan ke luar rumah. Mencari udara segar.

Menjelang malam, tepat pukul setengah tujuh. Aga menjemput Lia. Mobil nissan warna merah menyala miliknya meluncur mulus ke jalanan nan lengang. Sesampainya di depan rumah Lia. Aga keluar mobil. Menemui wanita yang kala itu menunggunya. Senyum lebar tersungging di bibir merah meronanya.

DAFFODILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang