V a c i l l a t e - 1. Pemakaman

114 17 56
                                    

"Maafkan aku. Seandainya tidak di situasi seperti ini, mungkin filter bibirku akan rusak. Seluruh umpatan akan keluar, melihatmu datang bersamaan dengan rasa sakit yang dulu. "

- Kintan

. . . . . .


Hujan masih saja tak ingin pergi seolah berusaha mewakili perasaan sedih yang datang. Rintiknya semakin lama semakin deras, semua orang berlarian pergi mencoba menghindari derasnya itu. Tangis sudah tak terlihat dimatanya, mungkin tersapu oleh rintik hujan. Jemarinya tak henti mengusap nisan bernama 'Rania Dewandari', sembari menahan seluruh rasa kehilangan yang masih menyelimuti.

Entah mengapa mataku tak juga lepas dari dirinya, begitu memikat untuk dipandang. Bukan indah atau mempesona, tapi rasa kehilangan yang ia tunjukan mampu membawa ku untuk merasakannya pula. Tak begitu mengenal mendiang yang sudah damai, yang aku tahu ia adalah Rania, wanita cantik dari Fakultas Hukum yang menjadi incaran remaja- remaja pria yang haus akan cinta.

Hari ini aku juga baru tau kalau dia adalah milik Rania. Lelaki yang membiarkan badannya basah di dekat nisan itu, ia kekasih Rania.

Terkejut? Pasti, tak mungkin aku hanya menunjukkan wajah datar setelah mengetahui fakta itu. Walaupun sudah tak ada apa- apa tapi tetap saja sebagian diriku yang dulu masih memiliki ingatan tentang lelaki itu.

"Permisi," ucap seorang menepuk bahuku dari belakang.

"Iya?"

"Kakak sepertinya kenal orang itu, ini ada payung, bisa payungi dia?" Mataku terbelalak kaget, aku memang mengenalnya tapi rasanya aneh tiba- tiba muncul lalu memayunginya disana.

"Aku adik Rania, kalau aku kesana Kak Hardi pasti sedih." Alasan itu masih masuk akal bagiku.

Ku ambil payung yang digenggam wanita itu dan tersenyum padanya, "makasih," hanya anggukan sebagai jawabku.

Kaki ku melangkah dengan ragu, menginjak rerumputan hijau dan melewati beberapa baris nisan.

Entah kenapa semakin dekat dengannya semakin inginku memegang pundaknya dan mengatakan, "jangan sedih."

Tapi aku tak seberani itu.

Ku arahkan payung tuk menutupi badannya. Ia masih diam, tak menyadari adanya aku disana. Matanya hanya menatap nisan itu, tangannya mencengkram erat bunga tabur di makam kekasihnya dan sepertinya ada kata yang ia ucapkan, tak terdengar jelas olehku karena hujan menutupi suaranya.

Mana mungkin aku memanggilnya disaat seperti ini, kesedihan yang mendalam butuh diluapkan dan diberi waktu agar terlarut untuk mereda. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat, jadi kuputuskan untuk diam memayunginya.

Ada sedikit rasa bersalah yang mulai menyesakkan dadaku. Rasa sakit yang ia beri waktu itu seakan muncul tapi perlahan mereda saat ku lihat dia saat ini. Melihat ia hancur, ternyata tak membuatku bahagia.

Dulu hampir setiap malam ku berdoa agar ia merasakan bagaimana perihnya kehilangan. Tapi setelah hari ini, aku menyesali doaku sendiri.

Ceritaku dan dia begitu singkat dan membekas. Mungkin memang aku kala itu terlalu jatuh dan dia terlalu mudah bangkit. Saat kami bersamaan jatuh, ia bangkit lebih awal meninggalkanku yang masih bertumpu pada tanah, lalu ia lari pergi sendiri.

Rasa sakit waktu itu seolah menjadikan aku-lah yang paling tersakiti di dunia. Tapi saat ini, saat pertama kulihat air matanya. Air mata yang pernah kuharapkan akan mengalir saat ia mengenangku.

"Sudah?" kutarik nafasku, "aku turut berbela sungkawa." Kucoba untuk mengalihkan fokusnya, agar tidak terlalu sedih.

"K-K-Kintan?" Ia memanggila namaku. Lagi.

VacillateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang