V a c i l l a t e- 4 Bertemu (lagi)

40 8 35
                                    


Chapter 4? Ada yang nungguin gak si?

Baca pelan- pelan ya, soalnya ada tokoh yang baru masuk.

Sssttt... ada Hardi sama Gaffa juga!

Happy Reading!!vote comment jangan lupaa

. . . . .

"Dengan segala kuasa-Nya yang menentukan pertemuan dan perpisahan. Demi Tuhan! Aku tak mengerti kenapa kau harus datang lagi?

Walau tak kupungkiri, aku senang melihatku tersenyum. Senyum khusus untukku."

-Kintan

. . . . . .

"Kalo Lu nggak pegangan, terus jatuh, malu- maluin! Banyak orang dijalan," sambungnya lagi, seketika itu hilang semua rasa kagum karena mengira ia akan mengungkapkan kata yang romantis.

Apa yang kuharapkan dari seorang Gaffa?

"Bacot!" Seru ku ingin memukul pundaknya. Seolah sudah menjadi kebiasaan dan Gaffa jelas hafal, spontan ia menggenggam tangan kiri ku untuk tetap berpegangan pada jaketnya, "kalo lu nepok gue,  terus jatuh, yang malu siapa? Gue lah! jadi pegangan aja."

Aku bukan remaja lugu yang menerima alesan receh itu dengan mudahnya. Aku paham apa yang Gaffa maksud, aku juga paham kenapa Gaffa selalu bertingkah kekanakan seperti itu. Ini semua karena awalnya kami bersahabat. Seperti sahabat pada umunya, kami berdua sering bercanda, mungkin kadang kelewatan.

Aku paham betul betapa kikuk-nya dia ketika harus bersikap peduli kepadaku lebih dari sebatas sahabat. Mungkin ia merasa takut jika ingin meninggikan egonya dan mengorbankan persahabatan, ia tak ingin merusak semua yang sudah dibangun dari awal. Sahabat yang baik bukan?

Sampai saat ini Gaffa masih berpikiran seperti itu.

Gaffa tidak pernah membicarakan bagaimana perasaannya kepadaku, Pipit yang sering bilang. Jadi aku merasa tidak perlu menjaga jarak dengannya. Apa adanya, seperti dulu.

Hal ini pula yang menahanku untuk memiliki perasaan lebih terhadapnya, kami bersahabat, hubungan kami cukup indah, tak perlu dirusak oleh cinta.

Perumahan Garuda blok C-34, Red Dragon berhenti didepan kos ku. Hujan belum turun tapi mendung semakin gelap. Kulihat ke atas, ke lantai 3, sudah banyak anak kos yang berebutan mengambil jemuran masing- masing. Mereka tak ingin direpotkan dengan mencuci lagi ditengah tugas yang melimpah ditengah semester.

"Banyak cucian?" tanya Gaffa juga memandang ke atas.

"Eh, Lu jangan liat- liat ke jemuran cewek!" Ku tutupi matanya untuk menghindari zina mata melihat pakaian dalam warna- warni berjejeran.

"Astagfirullah, iye paham! Maap maap. Turun, gih! Bentar lagi ujan, jemuran gue juga banyak," ucap Gaffa sembari meninimpa tangannya diatas tanganku.

"Ya lepasin tangannya!"

"Eh, maap maap."

Akhirnya aku turun dari Red Dragon. Karena langit semakin gelap Gaffa memutuskan untuk segera pulang ke kos yang hanya berjarak 5 meter dari kosan ku, memakirkan Red Dragon di dalam. Kata Gaffa, Red Dragon gampang masuk angin, jadi harus ditaruh ditempat yang aman saat hujan. Jelasnya, aku tidak percaya dengan hal itu.

Dengan perasaan senang melihat gerbang kos terbuka ku lepas sepatuku di pelataran, bu kos sedang pergi. Tas sudah ku rogoh hingga ke dasar, tapi kunci pintu masuk seolah bersembunyi di balik buku yang tak sengaja ku bawa. Memutuskan untuk duduk di kursi merah panjang yang biasanya jadi tempat apel saat malam hari, ku keluarkan semua isi tas ku. Benar saja, kunci itu tertimbun oleh beberapa lembar buku coklat yang sudah biasa ku bawa, "aah, pake ketelisut lagi!" Dipertengahan halaman, tak sengaja ku baca lagi halaman itu, "harusnya sudah ku buang buku ini!" tapi tetap saja buku itu kembali ke tempat semula.

VacillateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang