Bel jam istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu. Semua siswa-siswi SMA Triarta berbondong-bondong berjalan menuju kantin, sekedar mengobrol atau bertemu teman yang beda kelas dan mengisi perut. Pemandangan seperti biasa yang Fathur lihat, tidak ada perubahan sejak dia masuk SMA ini hampir tiga tahun lamanya.
Perutnya memang sudah meronta sejak lama, cacing sejak tadi pagi sudah berdemo agar diisi perutnya. Fathur berjalan, menyusuri meja-meja yang sudah diisi penuh oleh siswa-siswi lain. Matanya juga tak kalah memandangi sudut-sudut kantin, mencari tempat yang kosong.
Dari jauh Fathur dapat melihat jika seorang gadis baru saja mengangkat tangannya. Pandangannya lurus pada Fathur. Sekali lagi Fathur melihat ke sekelilingnya. Tidak ada lagi tempat yang kosong selain disana. Mau tak mau laki-laki itu melangkah menuju dua gadis yang duduk berdampingan itu.
Sampai di sana Fathur duduk, memasukkan jari-jari kirinya ke sela-sela jari kanannya yang ia tempelkan didepan hidung. Memandangi gadis di depannya.
"Mau makan apa, Thur?" tanya gadis itu. "Aku tahu tadi pagi kamu nggak sarapan, Mama kamu yang bilang."
Nadia tersenyum manis, Fathur belum juga menjawab pertanyaannya. Dan itu membuat Mura, gadis yang sedari tadi duduk berdampingan dengan Nadia kesal.
"Nadia nanya lho, Thur, kalo nggak mau jawab." Mura berucap pelan namun terdengar jelas jika dia tidak suka Fathur, tidak suka sikapnya. Nadia menyikut lengan Mura dengan lengannya, pertanda jika Nadia tidak mau akibat perkataan Mura Fathur jadi merasa tidak nyaman, atau mungkin pergi.
Fathur memandangi Mura lalu berpindah ke Nadia lagi, "Nasi goreng."
Nadia tersenyum lalu mengangguk, "Aku pesenin."
"Jangan. Duduk." Fathur berdiri, menuju warung nasi goreng langganannya.
Beberapa menit menunggu pesanan Fathur siap. Ia membawa nampan berisi nasi goreng dan segelas es teh manis itu kembali ke tempat dimana Nadia dan Mura berada, dan sudah ada Bima disana.
"Asekkk, baik banget lo, Thur. Pake pesenin gue lagi." Tangan Bima bergerak hendak mengambil alih nampan milik Fathur tapi segera ditepis oleh Nadia dengan cepat.
Melihat pelototan Nadia Bima mencebikkan bibirnya. "Iya, gue pesen sendiri." kata Bima sambil berjalan menuju warung.
Fathur duduk, mulai memakan nasi gorengnya sambil diam. Seperti beberapa hari ini, Nadia tidak tahu penyebabnya apa. Bertanya pada Mamanya Fathur juga tidak menemukan jawaban. Kata Mamanya, mungkin Fathur sedang galau, atau sedang ada masalah dengan Farka-kakak laki-laki Fathur.
"Kamu mau kemana abis pulang sekolah? Temenin aku, ya, Thur?" Nadia membuka obrolan setelah mereka berdua hanya diam, berbeda dengan Bima dan Mura yang terus berbicara banyak.
"Aku sibuk," jawab Fathur singkat.
"Perasaan dari kemaren kamu sibuk terus, ada apa, sih? Farka baik-baik aja 'kan?" tanya Nadia penasaran.
Fathur mengangguk lalu meneguk minumannya, setelah itu kembali menyimpan gelasnya di atas meja. Makanannya hampir habis, belum kenyang memang, namun jika terus berlama-lama disini Nadia akan terus bertanya. Dan dia tidak mau membahas apapun soal Farka, dan hubungan keduanya. Karena itu menyangkut sikapnya akhir-akhir ini.
Nadia mengernyit ketika Fathur berdiri hendak meninggalkannya. Nadia memegang pergelangan tangan Fathur, menahannya sebentar. "Kamu mau kemana? Bisa 'kan? Aku mau beli kado buat keponakan aku, hari ini dia ulang tahun."
Fathur diam lalu melepaskan tangannya perlahan.
"Thur?"
"Aku nggak bisa!" gertak Fathur pelan tapi tajam. Membuat beberapa orang di sekeliling mereka menoleh. Termasuk Mura dan Bima yang keheranan memandangi keduanya.
Nadia tersenyum kecut. Ia tidak bisa apa-apa lagi selain membiarkan Fathur pergi.
***
"Gimana? Nanti jadi ikut 'kan ke mall?" tanya Citra semangat. Sejak istirahat pertama Citra terus saja bertanya Andira ikut apa tidak.
Kemarin Trian tidak sengaja menemukan novel Andira yang tertinggal di perpustakaan. Dia mengembalikannya pada Andira tadi pagi, sekaligus mengajak gadis itu ke mall hari ini. Tentu tidak sendiri, tetapi bersama anak OSIS lain dan Citra juga. Katanya, Trian sedang bahagia,jadi dia berniat mentraktir teman-temannya.
"Gue nggak ikut ah," sahut Andira malas. Ia kembali memandangi novelnya yang baru ia beli beberapa waktu lalu.
"Lho! Kenapa?" heran Citra. "Ini keren, lho, Dir. Jarang-jarang juga 'kan lo jalan keluar, sama Kak Trian lagi."
Andira menghela napas lalu menoleh pada Citra. "Cit, kalo gue nggak mau ya nggak mau, meskipun lo ngerayu gue pakai acara apapun. Kali ini gue bener-bener capek."
Andira menolak, tidak mau kejadian seperti kemarin-kemarin terulang lagi. Dimana ia dan Citra katanya diajak makan satu meja di kantin bersama Trian, namun begitu sampai Andira malah ditinggal pergi oleh Citra. Jadilah dia makan bersama Trian. Sangat menjengkelkan.
Citra mencebikkan bibirnya. "Yaudah," ucap Citra sambil bangkit dari duduknya. "Gue mau ke kantin beli minum, lo jangan kemana-mana."
Andira mengangguk sambil fokus pada novelnya. Citra berjalan meninggalkan Andira sendirian di taman sekolah. Mereka senang untuk sekedar duduk di sana, rasanya adem. Banyak pepohonan, jadi sinar matahari tidak terlalu terasa panasnya.
Sepeninggal Citra, sepasang kaki berdiri tepat dihadapan Andira. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari novel dan berpindah memandangi siapa orang yang berdiri didepannya.
"Nama lo Andira?" tanya laki-laki itu pelan. Andira kaget sekaligus heran, bagaimana bisa laki-laki itu menemuinya? Maksudnya, apa maunya datang menemui Andira.
"Iya, Kak."
Laki-laki itu menghela napas. "Lo punya salah 'kan sama gue."
"Hah?" Andira mengerjap beberapa kali, memikirkan kesalahan apa yang pernah ia perbuat pada laki-laki yang kini memasukkan kedua tangannya ke saku celana seragamnya.
Jika dilihat dari penampilannya, Andira mengenal siapa laki-laki itu. Ia baru teringat sesuatu. "Ah iya! Soal waktu itu, yang waktu aku nabrak Kakak di selasar kelas 'kan?" Andira tersenyum kecut.
"Maaf, ya, Kak. Aku bener-bener nggak sengaja, aku juga lagi nggak ada duit." jawab Andira polos. Karena selama ini banyak kakak-kakak kelas yang sok kegantengannya mendatangi Andira. Entah ingin memalak atau modus lainnya, terutama memalak sih. Beda dengan Fathur adalah, laki-laki itu benar-benar ganteng, bukan sok lagi menurut Andira. Sangat beda dengan kakak kelas lain yang sok ganteng dan kurang belaian.
"Duit? Lo pikir gue mau nagih hutang?"
Andira menggelengkan kepalanya, "Nggak, aku pikir Kakak mau malak."
"Malak?!" Fathur mengernyit bingung. Bagaimana bisa Andira menganggapnya ingin memalak.
"Kalau nggak mau malak mau ngapain?" Andira mengernyit, mengikuti arah pandangan Fathur yang mengarah pada novelnya. "Oh, mau pinjem?"
Fathur menarik ujung bibirnya tersenyum kecil. Tentu saja dia datang ke sini bukan untuk itu, bukan untuk memalak atau yang lainnya.
"Lo punya salah sama gue, jadi harus bantuin gue."
Andira mengernyit, "Bantu apa, kak?"
"Nanti," jawab Fathur. "Setelah gue butuhin lo."
***
TBC
Ini memang pendek:v tapi gpplah, yg penting update , HAHA.
Jangan lupa vote, komentar, dan cek works kita, yaaa!❤-Yunnipm
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow
Teen FictionAku itu hanya cewek biasa yang nggak punya keberanian mengungkapkan perasaan. Dengan status kita yang sebagai pacar pura-pura itu aku bisa merasakan setidaknya sedikit perlakuan manismu. Tetaplah seperti ini. Tetaplah berpura-pura mencintaiku, sampa...