3. Putus

49 8 7
                                    

Fathur mengayunkan sendoknya. Matanya memandang tanpa minat makanannya yang sudah disiapkan oleh Mamanya.

"Makan, Thur. Jangan dipandangin sarapannya." Mama tersenyum lalu duduk di samping Farka yang duduk dihadapan Fathur.

Fathur mencoba menyendok nasinya tanpa nafsu. Perlahan, pergerakannya terus diperhatikan Farka. Entah apa yang Fathur pikirkan saat ini, Farka tak tahu. Dia hanya berpikir mungkin Fathur sedang memikirkan soal obrolan mereka beberapa waktu yang lalu. Sungguh jika itu membuat Fathur berpikir berat, Farka menyesal.

"Ka, besok jadi 'kan ke rumah sakit?" Mama membuka obrolan sekaligus membuyarkan lamunan Farka, saat itu juga Farka mengalihkan perhatiannya dari Fathur.

Fathur memandangi keduanya bergantian.

"Jadi, Ma," jawab Farka tersenyum.. Ia kembali menoleh pada Fathur yang juga memandanginya datar, "Thur, lo bisa ikutkan?"

Fathur diam beberapa detik, lalu menggeleng. "Nggak, gue ada urusan."

Farka mengangguk, lalu Mama bangkit dari duduknya berjalan menuju dapur. Setelah itu, kembali lagi. Farka menoleh ke arah Mama. "Ma, Farka mau ngomong sama Fathur, berdua doang."

Mama tersenyum sambil mengernyitkan dahinya. "Okelah, Mama ke kamar dulu." Mama tersenyum sambil bangkit dari duduknya, mengacak rambut Farka lalu berjalan meninggalkan keduanya.

Fathur tidak tahu apa yang akan Farka katakan nanti, paling tidak jauh dari obrolan mereka minggu lalu. Fathur mengelap mulutnya dengan tisu, lalu hendak berdiri namun Farka menahannya.

"Tunggu, Thur."

Kerutan di kening Fathur tidak hilang, serta tatapan tajamnya selalu terpasang dan tetap tidak menghilangkan atau mengurangi wajah tampannya.

"Kalau lo memang merasa terbebani dengan apa yang gue katakan minggu lalu, lupain aja. Jangan dilakuin," ungkap Farka tersenyum simpul.

Fathur menarik ujung bibirnya tersenyum tipis. "Nggak perlu, gue bisa. Karena cuman itu yang bisa gue lakuin buat lo, Ka."

Farka menghela napas tidak enak, "Serius, gue nggak enak kalau lo terbebani dengan permintaan gue, Thur."

Lalu apa maksud lo meminta itu kemarin kalau ujung-ujungnya lo juga membatalkannya. Fathur menyahut dalam hati. Ia ingin mengucapkannya namun ia urungkan. "Sama sekali nggak. Santai aja." Fathur tersenyum lalu berjalan menuju tangga rumahnya.

Jika saja saat ini Farka bisa mengejarnya. Sayangnya, dia hanya dapat memandangi kepergian Fathur. Kakinya yang sudah tidak berguna tidak dapat melakukan apa-apa selain hanya diam dan diam.

***

Nadia turun dari mobilnya, kemudian menutup kembali pintu mobil sambil berjalan menuju kelasnya. Tidak ada yang berbeda, kecuali Fathur yang tidak menunggunya di pos satpam seperti biasa dulu. Nadia mencoba tidak mengingat itu kembali, karena hanya akan menyesakkan dadanya. Dia seharusnya bersyukur karena Fathur masih miliknya, meskipun tidak seperti dulu.

Nadia tersenyum sumringah saat mendapati Fathur berdiri dengan tas punggunya. Fathur datar tetapi Nadia tidak peduli, yang penting lelaki itu kini berdiri didepannya.

"Nungguin aku ya pasti?" tebak Nadia.

Fathur mengangguk, "Ada yang mau aku omongin."

Nadia mengernyit masih dengan senyumnya. "Soal apa dulu, nih?" tanya Nadia tetap mencoba asik dan tidak kaku.

"Hubungan kita," jawab Fathur datar.

Senyum Nadia menghilang, rasa takut akan kehilangan Fathur kini benar-benar ada. Rasanya selama ini tidak ada yang perlu mereka bahas soal hubungan, mereka baik-baik saja 'kan? Nadia tersenyum lagi, mencoba berfikir positif dan menghilangkan hal-hal negatif yang mungkin akan terjadi nantinya.

RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang