KORIDOR yang terhubung langsung dengan toilet perempuan itu menjadi tempat utama Mura untuk meluapkan emosinya pada Andira. Mura mendorong Andira sampai gadis itu jatuh tersungkur ke lantai. Bahkan, ringisan Andira sama sekali tidak Mura perdulikan. Gadis itu sudah tersulut emosinya saat melihat Andira di perpustakaan sekolah.
Andira menunduk dengan rasa takut yang tertumpuk didalam dirinya. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetaran, matanya mulai memanas karena takut.
"Apa yang lo kasih sama Fathur?" tanya Mura bernada menyeramkan. Kedua tangannya terlipat diatas dada, menampilkan sisi beringas dari seorang Mura.
Tidak ada jawaban selain suara tangis Andira yang mengisi ruangan. "Heh! Jawab! Apa lo kasih harga diri lo yang semurah sayur busuk di pasaran?" kata Mura sengit.
"Gara-gara lo, sahabat gue Nadia jadi sedih. Seharusnya lo itu nyadar, lo cuman sampah dalam hubungan seseorang! Apa cita-cita lo emang sebagai PHO? Perusak hubungan orang?"
Andira menggeleng lemah. Untuk bicara saja dia tidak sanggup, apalagi menjawab pertanyaan dan penuturan yang dilontarkan Mura padanya. "Andira Maudya, siswi kelas 10 IPS 2. Ternyata begini, tingkah dan kelakuan lo."
Andira makin terisak, "Ma—maaf, Kak," ucapnya dengan gemetar.
"Lo kira dengan kata maaf sahabat gue bisa bahagia! HAH! Lo ngerebut KEBAHAGIAN dia, bodoh!" Mura menekan kata-katanya.
"Mura cukup!" tahan seorang gadis yang muncul dari toilet. Nadia mendengar semuanya, ia yang curiga dengan gerak-gerik Mura sejak tadi mulai ia ikuti.
Mura menoleh, dengan tatapan sengit. "Kenapa? Hm? Lo mau Fathur diambil gitu aja sama dia?" tanya Mura pada Nadia, telunjuknya menunjuk diri Andira yang lemah.
"Dia nggak tahu apa-apa, lagian ... gue nggak masalah kalau misalnya—"
"Lo bilang nggak masalah? Tapi lo sendiri nangis-nangis hampir setiap malam! Itu yang yang lo sebut nggak papa?!" Dada Mura kembang kempis tersulut emosi. Dia benci melihat Nadia yang selalu menampilkan sisi baiknya pada semua orang.
Nadia meneteskan air matanya, matanya berpindah pada Andira yang masih terduduk diam. Kakinya melangkah mendekati Andira. Belum sampai di sana Mura menahannya dengan kata-kata. "Gue cuman nggak mau lo kayak gini, Nad. Mengalah karena lo kalah, Fathur itu keterlaluan karena dia udah nyakitin lo! Apa lagi yang lo harapkan?"
Nadia menoleh sambil menghela napasnya. "Lalu apa yang lo harapkan dengan ngelakuin ini? Ini juga sama, nggak akan bikin Fathur mau balik sama gue, Mura. Apapun keputusan gue dan Fathur, itu adalah yang terbaik untuk saat ini."
Nadia kembali berpindah pada Andira. Ia berjongkok untuk menyamai posisinya dengan Andira. "Lo gapapa?"
Andira menggeleng lemah. "Gue bantu lo berdiri." Nadia mengelus sekilas bahu Andira dan membantunya berjalan keluar dari toilet ini.
• Rainbow •
"Rok lo kotor," ucap Nadia. Ia tersenyum saat Andira hanya mengangguk menanggapi perkataannya. "Nih, abisin."
"Makasih, Kak." Andira balas tersenyum sambil mengambil cup jus buah yang tadi dibeli Nadia untuknya.
"Bisa juga lo buka mulut akhirnya," kekeh Nadia. "Oh, ya, soal yang tadi maafin temen gue, ya. Dia memang sedikit ya ... kasar memang. Dia suka gitu kalau terjadi sesuatu sama gue, tapi sebenarnya dia punya hati yang baik, kok."
Andira mengangguk, sepanjang Nadia bercerita dia masih nyaman meneguk minumannya, sampai ia kembali mendongak dan memandangi Nadia. "Gapapa kok, Kak. Aku ngerti," balas Andira. Dia tahu mungkin dia yang salah dalam hal ini. Tetapi, dia masih belum bisa mengakui kesalahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow
Teen FictionAku itu hanya cewek biasa yang nggak punya keberanian mengungkapkan perasaan. Dengan status kita yang sebagai pacar pura-pura itu aku bisa merasakan setidaknya sedikit perlakuan manismu. Tetaplah seperti ini. Tetaplah berpura-pura mencintaiku, sampa...