Dalam hidup, yang sebenarnya membuat kita terus berjalan tidak pernah merupakan hal besar. Bukan pencapaian ataupun ambisi. Setidaknya bagiku, yang bisa membuatku terus berjalan adalah susu kotak cokelat merk terkenal yang aku minum setiap pagi dan koran yang diantar setiap pagi. Sesederhana dan semudah itu.
Ketika aku terbangun dan melihat berita seseorang yang berhasil meninggalkan dunia ini, aku merasa sedikit tersisihkan. Kenapa tidak aku yang dijemput seperti itu, sehingga aku tidak perlu hidup di tengah manusia yang tidak bisa aku kenali.
People love coincidence, but I don't. Tidak ketika kebetulan itu adalah Erlangga.
"Are you okay?"
"Never after I met you," jawabku jujur. Ia tidak bisa menyembunyikan semburat malu di wajahnya yang tidak aku mengerti. Kalau ternyata ia masih memiliki rasa seperti itu.
"Kenapa kamu tiba - tiba hilang begitu,"
"Kamu gak perlu tahu,"
Aku menatapnya kosong, sayup - sayup kudengar suara dari sekitarku yang hanya lewat tanpa bisa ku pahami.
"Kamu gak ingin foto kamu? Saya masih punya,"
Aku mendengus, setengah tertawa mendengar Erlangga berbicara seolah ia baru putus kontak satu bulan yang lalu, bukan delapan tahun.
"Saya gak butuh, in fact, I never love to be in a picture in the very first place."
Erlangga menatapku lurus, tatapan serius yang aku bisa kenali dalam waktu kami tinggal bersama.
"Saya gak ngerti, Thin,"
"Saya gak perlu kamu ngerti,"
"Saya tidak pernah punya hubungan sama dia, dan tidak ada maksud saya ketika bicara dengan Priscilla untuk menjelekkan kamu. Saya sangat bahagia saat itu."
Mencoba mengangkat senyum bukanlah hal yang mudah. Miris rasanya untuk tersenyum mendengar perkataannya saat ini.
"The thing is, kamu gak pernah tahu apapun tentang saya dan apa yang terjadi,"
"Beri tahu saya, then,"
Aku menatapnya lurus, untuk waktu yang lama. Memahami Erlangga dan aku sudah berubah menjadi dua orang dewasa dibandingkan dengan dua orang anak muda yang sedang jatuh cinta. Sesuau yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya.
"Ada hal - hal yang tidak pernah kamu tahu, untuk yang terbaik,"
Aku mengangkat tubuh dari kursi, pertemuan aku dan Erlangga bukanlah sesuatu yang direncanakan. Aku tidak berharap ada pertemuan selanjutnya setelah ini.
"Let just leave the past, I won't regret our past, Erlangga."
Setiap langkah yang aku pijaki ini kuhitung dalam hati. Ingatkan aku untuk memberi reward untuk diriku sendiri karena berhasil mengatakan kalimat itu padanya.
*
"Lo ketemu dia?"
Aku baru saja akan menutup mata ketika Alan tiba - tiba masuk ke dalam kamarku tanpa diminta. Sialan, bagaimana laki - laki itu mengetahuinya?
"Udahlah, Lan. I need time to rest,"
"Kenapa lo keras kepala gini sih?"
Lelaki itu terdengar kesal, sayangnya aku tidak punya tenaga lagi untuk membalas perkataannya. Aku membuka mata dan mendapati lelaki itu duduk melihatku dengan tatapannya yang aku hapal.
"Give me a break, it is too much, Lan,"
Alan menatapku dan mengecek temperatur tubuhku dengan tangannya.
"Lo demam,"
Aku hanya diam.
"Thin, apapun itu gue gak akan bisa lihat lo terluka lagi, tapi gue juga gak bisa biarin lo ngelukain diri lo sendiri kayak gini,"
"Kenapa lo gak pernah bilang ke dia tentang Viana?'
Aku menggeleng dan tersenyum, "Karena itu mungkin gak akan pernah jadi hal penting untuk dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Days for Today (discontinue)
General FictionJatuh cinta dan patah hati nyatanya adalah dua kata yang saling berdampingan dalam setiap perjalanan takdirnya. Athina sepuluh tahun yang lalu bahagia untuk jatuh cinta. Tapi Athina yang telah selesai jatuh cinta delapan tahun yang lalu adalah Athi...