sepuluh - Athina - 2027

19 1 0
                                    

Setelah menjalani hari - hari normal seperti biasa, melihat lelaki ini dihadapanku masih merupakan hal yang tidak bisa aku terima. Karena ini tidak normal. 

Aku menatapnya frustasi ketika ia berhasil mengangguku ditengah meeting, raut wajahnya terlihat sangat marah dan aku tidak bisa mengerti. Apa lagi yang ia inginkan?

"Kenapa?" tanyaku pelan. Aku tidak punya energi apapun untuk berbicara dengannya. Dengan tatapannya seperti ini, terlalu menakutkan bagiku. Sangat menakutkan. Wajah yang sama ketika dulu aku bertengkar dengan Rifal di kampus dulu. Ekspresi dimana ia ingin memukul wajah seseorang. Dalam hal ini, aku adalah orang yang mungkin ingin ia pukul.

"Athina, jelasin sama saya,"

Ruangan meeting yang sudah kosong karena lelaki ini berhasil mengusir semua orang dari ruangan membuat suaranya terdengar lebih menakutkan. 

"Apa yang harus saya jelaskan?"

Aku melihat matanya sekali lagi, tubuhnya tegang menunjukkan kemarahan. Damn it. Apa maksud laki - laki ini?

"Saya memberikan kamu untuk perempuan itu. Apa itu yang ingin kamu dengar?"

Tapi sorotan mata Erlangga terlalu tajam untuk tidak aku gubris. Seketika aku merasa kecil dan udara terasa sulit untuk kuhirup. 

"Siapa, Viana?"

Tubuhku bergetar mendengar Erlangga menyebut Viana. Seketika aku merasa berada di dalam ruangan gelap dengan Erlangga yang siap menghakimiku kapan saja. 

"Bukan urusan kamu,"

"Jawab, Athina," Suaranya terdengar keras. Berhadapan dengan lelaki ini benar - benar menyusahkan. Aku menutup mata dan merasakan mataku memanas karena ucapannya. 

"Athina," dan kali ini suaranya terdengar melemah. Sama sepertiku yang merasa tubuhku terlepas seketika. 

"Saya tidak sekejam itu untuk meninggalkan kamu sendirian saat kamu membawa anak saya,"

"Viana anak saya, bukan kamu. Saya yang sendirian membawanya dan melahirkannya," aku menatapnya tajam kali ini. Berusaha menggapai udara untuk bernapas. 

"Athina, tolong jelaskan pada saya,"

"Kamu gak usah khawatir. Viana meninggalkan saya sendirian setelah melahirkannya susah payah, itu yang ingin kamu dengar, kan?"

"Thina,"

"Sekarang kamu bisa keluar, tidak? Saya tidak ingin membuat drama, Erlangga,"

Erlangga menatapku dengan raut wajah yang tidak bisa aku mengerti. Apakah itu tatapan iba? Aku tidak mengerti. Erlangga saat ini bukanlah yang aku kenali delapan tahun yang lalu. 

Ia bangkit dari kursinya dan memelukku erat, menepuk pundakku seperti yang dulu ia lakukan setiap kali aku menghadapi masalah. Sesaat diriku seolah kembali kepada delapan tahun yang lalu saat aku masih bersamanya. Namun realita menyadarkanku begitu cepat, segera kutarik tubuhku darinya. 

"Athina, saya minta maaf," 

Aku tidak mengerti untuk apa maaf yang ia berikan. Maaf karena meninggalkanku, maaf karena Viana sudah tiada, atau maaf karena tidak ada disampingku. Maaf seperti apa yang ia katakan saat ini. 

Aku hanya bisa menangis sambil menatapnya.

"Erlangga, lebih baik kamu keluar,"

"Athina, saya tidak akan bisa memaafkan diri saya,"

Aku menghela napas dalam, "Jangan pernah, kalau begitu," jawabku tajam. Kepalaku terasa sakit dengan segala emosi yang muncul saat ini. 

"Pergi, Erlangga, tolong," kali ini aku yang memintanya. Tidak sanggup untukku membiarkan dia berada disini untuk waktu yang lebih lama dari ini.

Belum pernah kubayangkan bahwa ia akan mengetahui hal yang aku rahasiakan dari semua orang bertahun - tahun hanya dalam waktu dua minggu. 

"Athina, maafkan saya,"

"Saya tidak pernah menyalahkan kamu, sekarang tolong pergi,"

Erlangga bangkit, namun ia menghadapku untuk sekali lagi menatapku dengan intens dan entah mengapa ia terlihat sedih saat ini. 

"Saya tidak pernah bersama dia, kamu harus tahu itu."



Three Days for Today (discontinue)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang