Some people born to be a mother, some people don't, it all doesn't matter since it is your life.
Ketika aku menyadari memiliki Viana dalam hidupku, hal pertama yang ada di pikiranku adalah apakah aku akan tergabung dalam golongan pertama atau golongan kedua. Seorang Athina yang memuja kebebasan, kesendirian, egois, dan tidak memiliki rasa peduli terhadap banyak orang untuk mendapatkan nama depan sebagai Ibu bukan hal yang pernah ada di pikiranku. Bahkan jika aku sudah menikah sekalipun.
Tapi, bukankah semua orang demikian? Semua Ibu pernah merasakan rasa takut.
Pertama kali aku merasa bersalah kepada Mama setelah menjalani hidup sesukaku adalah hari itu saat aku tiba di ruang dokter, rasanya luar biasa membingungkan dan menakutkan. Seperti duniaku direnggut dalam satu tarikan dan kebebasanku dicabut. Aku merasa berdosa, tapi lebih lagi ketika aku berpikir tidak akan bisa menghadapi ada orang lain yang bergantung hidup padaku. Dosa karena aku tidak merasa bersalah untuk memilikinya, tapi merasa takut untuk hidupku sendiri.
Mama pernah cerita gini, "Kamu tahu rasanya gak bisa ke salon gara - gara mual terus pas hamil kamu?" awalnya selalu menjadi cerita lucu untukku sampai aku merasakannya sendiri. It is the worst. Aku tidak bisa merasa puas melihat refleksiku dalam kaca, tidak bisa masuk ke salon karena baunya dan merasa tidak nyaman dengan tubuhku sendiri.
Begitu juga setelah menyelesaikan hubungan dengan Erlangga, aku berpikir aku adalah perempuan tangguh. Modern. Mengagung - agung kan feminisme, menunjukkan betapa hebatnya aku dengan diriku sendiri.
Tapi ada satu hal yang terlupakan saat aku berpikir semua itu. Semua orang pada dasarnya membutuhkan cinta. Love made my mom able to go outside because she loves me, she loves my father and she loves herself. Love made people able to show how smart and tough they are, to not make anyone worry. But for me, I felt soulless, lifeless. I didn't know I need a love that much.
Tapi ketika aku melihat Viana, sebuah pemahaman muncul bahwa aku mencintai anak ini terlalu dalam dan tidak bisa untukku melakukan dosa lainnya padanya. Dan ketika ia lahir dan meninggal di pangkuanku, aku kehilangan semuanya. Kehilangan apa yang aku sebut sebagai cinta dan bahagia.
***
Erlangga bodoh. Aku meruntuk dalam hati setelah menerima telepon dari Mama setelah lelaki itu menghubunginya dan menanyakan kabarku.
"Angkat ponselnya, sialan," aku mengumpat keras. Untung saja ia tidak mengatakan hal aneh pada Mama dan berkata ingin menghubungiku. Aku ingin meloncat rasanya ketika Mama bilang ada teman lama yang mencariku dan meminta ijin untuk menemuiku. Dia pikir dia siapa.
Terima kasih kepada kemampuan menyetirku yang sangat baik sehingga aku bisa sampai dengan selamat di studionya dan menemukannya duduk santai di depan komputer dengan wajah tenang yang tidak bisa aku terima.
"Ada apa?"
"Kamu bertanya ada apa, sialan," ucapku penuh emosi. Rasanya seperti api membara di mataku dan bersiap untuk membakarnya hidup - hidup. Sejak kapan ia menjadi lelaki yang menyebalkan seperti ini.
"Apa yang salah, Thina?" jawabnya tenang. Seperti dulu ia menenangkanku setiap aku marah.
"Tolong jangan berpura - pura bodoh. Kamu ngapain telepon Mamaku?"
"Apa yang salah? Aku hanya ingin tahu tentang kamu dan aku ingin Ibumu tahu tentang hal itu,"
Aku meremas rambutku frustasi dengan sikapnya, "Jangan pernah berhubungan dengan keluargaku,"
"Athina, aku ingin bertanggung jawab. Kamu tidak pernah memberitahuku tentang keluarga kamu atau tentang Viana. Aku ingin memperbaiki semuanya," ucapnya berdiri menenangkanku.
Sumpah demi apapun, aku tidak memikirkan lagi jika ada orang diluar ruangan ini yang mendengar pembicaraan ini.
"Erlangga, tolong jangan ganggu aku. Anggap saja apa yang terjadi di masa lalu adalah kesalahan masa lalu. Kamu harus move on,"
"Bagaimana aku bisa melupakan sesuatu yang aku lakukan. Apa kamu pernah melupakannya? Apa kamu menyesal?" tanyanya padaku. Aku menghindari matanya yang berusaha menemui pandanganku.
"Aku tidak pernah menyesal. Tidak adil untuk Viana. Tidak adil untukmu. Kita hanya dua orang yang teringat tentang masa lalu karena sudah lama tidak bertemu,"
"Aku masih mencintai kamu. Demi Tuhan, Athina,"
Aku meraih kerah bajunya, "Demi apapun, jangan menyebutkan kata cinta dengan mudah,"
"Jangan pernah datang ke kantor aku dan menghubungi orangtua aku,"
"Aku ingin tahu apa yang kamu lewati selama ini dan meminta maaf pada kamu dan orangtuamu,"
"Kamu sudah aku maafkan, Erlangga. Karena tidak ada yang salah diantara kita, itu adalah tanggung jawab yang aku pilih,"
"Lalu bagaimana kamu melewati semua ini?"
"I'm doing just fine, Erlangga. I am not a girl anymore, I am a woman,"
"Athina, aku ingin kembali,"
"Tidak ada yang bisa dikembalikan, Erlangga,"kali ini aku menatap Erlangga, mendorong bahunya dan berbalik.
"Beri tahu aku sebuah alasan,"
"Apa kamu harus mendengar bagaimana aku tidak pernah memberitahu orangtua aku, kabur keluar negeri sendirian, kesepian, dipertanyakan orang - orang, melahirkan Viana yang kemudian meninggal di tanganku sendiri. Apa itu yang kamu inginkan? Tolonglah, Erlangga. Jangan menambah beban orangtuaku, mereka tidak boleh tahu," ucapku berpaling kembali ke arah lelaki ini dan meninggalkan tempat ini dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Days for Today (discontinue)
General FictionJatuh cinta dan patah hati nyatanya adalah dua kata yang saling berdampingan dalam setiap perjalanan takdirnya. Athina sepuluh tahun yang lalu bahagia untuk jatuh cinta. Tapi Athina yang telah selesai jatuh cinta delapan tahun yang lalu adalah Athi...