T R E.

132 16 0
                                    

"You know it used to be mad love."



Nara tengah merebahkan kepala di pangkuan Papa ketika Retis menyerukan salam.

"Om Swastyastu. Abang dari mana?"

Retis membalas pelukan Mama lantas berkata, "Ngecek café. Mama baru pulang?"

"Nggak baru banget sih. Lancar semua?" Mama kembali menyahut dan kali ini sembari menarik lengan Retis untuk bergabung dengannya duduk di sofa. Ibu dan anak laki-laki tersayang itu lantas bergelung dalam pelukan, mengabaikan Nara dan Papa yang lagi-lagi merasa terasingkan.

"Bang, for your information, Papa juga baru pulang." Ucap Papa tanpa mengalihkan mata dari tablet di tangannya.

Ucapan yang berisi nada sindiran itu membuat Retis terkekeh kemudian menoleh pada Papanya. "Hay, Pap. Sehat, kan?"

"Puji Tuhan, sehat. Setelah anak laki-laki Papa sadar bahwa di sini ada Papanya yang baru pulang dinas juga." Sahut Papa dengan nada acuh yang masih terkesan menyindir.

"Pap, cmon. Sudah ada Nara yang melebihkan porsi untuk Papa, makanya Abang melebihkan porsi untuk Mama." Kata Retis sembari mengusap lengan Mama yang masih bergelung dalam pelukannya.

"Semua harusnya diseimbangkan, Bang. Tidak boleh pilih kasih." Kata Mama.

Percakapan hangat itu berlanjut semakin dalam ketika Mbak Ayu datang membawakan kopi untuk Papa dan Retis, teh krisan untuk Mama dan juga jus jeruk untuk Nara. Toples-toples kecil yang berisikan cemilan dan beberapa bungkus chips sudah terbuka. Nara bahkan beranjak dari posisi nyamannya untuk duduk meleseh sembari menikmati cemilan di tangannya.

"Kapan kamu pengumuman kelulusan, Dek?" tanya Retis ketika tiba-tiba ia teringat bahwa Nara sudah menyelesaikan Ujian Nasionalnya tempo lalu.

Nara mengernyit sesaat sebelum menjawab. "Lusa deh kayaknya, Bang. Atau besok ya? Hm, nanti deh Nara tanya Gista."

"Masa gitu aja lu lupa sih!"

"Bang, kepala adek difitrah itu." Tegur Mama ketika melihat Retis siap melayangkan jitakan tangan pada kepala Nara.

Retis mendengus. "Difitrah aja tetep kurang pinter gimana kalo nggak difitrah."

"Pa, denger Abang." Adu Nara.

"Bang."

Sekali lagi Retis mendengus. "Bocah."

Nara mengedik acuh lantas kembali menikmati cemilannya.

"Kamu jadi ambil Hukum, Dek?" tanya Papa sembari mengusap kepala Nara.

"Jadi dong, Pap. Atau Papa maunya Nara ambil Teknik aja?"

"No." Papa dan Mama kompak menggeleng membuat Nara terkekeh geli.

"Jadi arsitek keren lho padahal. Lagian hukum kayaknya biasa aja." Kata Nara.

"Its still a no, Nara." Kata Mama dengan gelengan tegas.

"Alrite, then. Tapi Nara masih boleh ambil PhD di luar kan?" Tanya Nara dan perempuan itu kembali buru-buru menambahkan saat melihat raut menolak di wajah Papa. "Papa dan Mama have been promise me."

"Oke-oke. Kita bahas itu nanti."

Nara mengangguk semangat lantas kembali menikmati cemilan. Kali ini tangan jailnya merampas sebungkus chips dari tangan Retis, memancing kakak lelakinya itu untuk marah namun Retis masih acuh menatap pada layar ponselnya.

Nothing Is ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang