Chapter 2

26 7 10
                                    

"Gue gak mauuuu!"

"Harus mau."

"Gak gue nyerah duluan."

"Harus atau lo traktir gue untuk seminggu ke depan!"

"No!! Pokonya gue gak mau ada urusan sama cowok itu!" Destiny masih menggerutu dengan tantangan yang diberikan Laura.

"Lo cupu. Belum dilaksanain udah ngeluh. Apa kata dunia?" ucap Laura sambil menyeruput minuman yang ia minum sambil berjalan.

Destiny memepetkan dirinya pada tembok. Mencium tembok itu kadang terlalu gemas dengan tantangan itu ia meninju tembok yang tidak bersalah. Mungkin jika tembok itu bisa berargumen ia akan menangis dengan tindakan Destiny yang terkesan kejam ini. Laura yang melihat tingkah konyol Destiny hanya bisa menggeleng.

"Coba lo bayangin nih ya. Gue ketemu dia aja udah sial banyak apesnya. Apalagi kalau gue harus berurusan sama dia. Bisa sial terus gue jadinya."

Laura hanya menahan tawanya. Ia sudah yakin jika dare yang diberikan olehnya akan membuat Destiny dilanda galau berkepanjangan. Jika Destiny tidak mengingat Laura sahabatnya, mungkin saat ini Laura sudah terpental hingga ke gurun sahara dan hilang di segitiga bermuda.

"Yaudah lo tinggal traktir gue selama seminggu."

"Astagaaaa lo mah curang. Kemarin suruh deketin si Paimin, terus Aldo, terus Suripto gue sih fine fine aja karena mereka asik. Lah ini asik kaga, ganteng juga dikit, senyum kaga, cuek nomer satu. Coba ya lo bayangin lagi, kalau gue ngajak ngobrol dia terus dia cuma diem. Kan dikira gue ngomong ama patung dong."

Hati Destiny merasa naik satu tangga nada jika hatinya itu ibarat alat musik. Ia merasa dunia ini tidak adil baginya. Destiny membayangkan wajah lelaki itu yang hanya datar memandangnya, bagaimana respon lelaki itu saat berinteraksi dengan orang lain? Apakah dicuekin/dimarahin/ditendang/diberi ucapan sadis?

Destiny tidak habis habisnya berpikir bagaimana awal yang pas dari sebuah perkenalan. Saat di tengah perjalanan ia melihat lelaki jangkung itu. Pandangan lelaki itu hanya menatap depan tanpa mempedulikan sekitarnya. Ia juga melihat seorang lelaki lainnya yang berjalan berdampingan.

"Waktu yang pas lo mulai perkenalan," bisik Laura tajam membuat Destiny menggeleng kuat.

Bukan Destiny namanya jika ia langsung kicep dengan keadaan ini. Ia berjalan mendekati lelaki itu. Oke saat ini Destiny tepat dihadapan lelaki itu. Refleks dia berhenti berjalan sambil memandang Destiny yang lebih pendek darinya.

"Heh cowok jangkung! Lo yang nabrak gue kemarin kan? Ngaku deh lo," ucap Destiny dengan lantang. Ia tahu bahwa ini terasa awkward pake banget. Laura hanya menatap sahabatnya itu dengan cemas. Cemas karena takut lelaki itu memarahi Destiny dan cemas kalau Destiny mempermalukan dirinya

"Lo punya mulut gak sih? Lo gak diajarin berbicara? Apa lo lupa huruf abjad? Atau lo bisu? Oh gue tau lo--"

"Minggir !" ucapnya tegas tidak lupa dengan tatapannya yang membunuh. Membuat Destiny menjadi takut. Ia sangat takut ketika ada orang yang membentuknya.

Lelaki itu langsung pergi saat Destiny hanya diam dan tidak merespons apa-apa. Laura menghampirinya segera sambil meringis pelan.

"Sabar ya bro. Kan baru awal. Catat ya dipikiran lo "traktir Laura seminggu ke depan kalau gagal"" ucapnya. Lalu Laura menyeretnya lagi hingga sampai kelas.

***

Destiny masih tak habis pikir kenapa lelaki jangkung itu harus diciptakan. Selain cuek, ia juga terkenal dengan tatapannya yang tajam terkesan membunuh. Destiny bergidik ngeri jika membayangkan lelaki itu tiba-tiba berubah menjadi psikopat ulung.

"Lo mikirin apa sih?!" teriaknya frustasi. Rambutnya kini seperti nenek lampir yang tersangkut di jemuran. Nara yang duduk di sampingnya merasa terganggu.

"Lo kenapa sih Des? Kaya orang frustasi gitu."

Destiny kembali merapikan rambutnya dan tersenyum kecut.

"Tuh Laura kejem amat ama gue."

"Kenapa emang?" tanya Nara yang sepertinya memaksa Destiny untuk cerita padanya.

"Tau ah gue sebel. Gue takut." Nara hanya menoleh dan kembali mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan sambil mendengarkan musik.

"Tugas lo udah selesai belum? Gue lihat dong." Masih dengan wajah kusut, Destiny mengambil buku tugas fisika dan melemparkan pada Nara. Nara dengan sigap menangkap buku itu.

"Makasih Destiny cantik." Ia hanya memutar bolanya malas. Jangan salah Destiny adalah bintang kelas di kelasnya. Jadi jangan diragukan otaknya yang gampang cair untuk menerima pelajaran. Walaupun jika dilihat tampang tampangnya seperti seorang berandal, tetapi ia jenius.

"Gue mau keluar bentar." Ia pun keluar dari kelasnya. Ia duduk di depan kelasnya sembari melihat lapangan. Tatapannya bertemu dengan cowok jangkung itu. Ia pun segera menatap arah lain. Tidak mau untuk kedua kalinya ia ditatap tajam oleh orang itu.

"Gue tadi ngasih makanan ke Aden dia gak nolak. Tapi makanan yang gue bawa langsung terjun ke tong sampah. Potek hati dedeq." Suara samar terdengar di telinga Destiny. Ia merasa mereka adalah orang-orang yang kurang kerjaan pake banget.

'Ngapain bawain makanan buat orang lain. Mending buat gue aja, kalau ujung-ujungnya dibuang.'

"Anjir tuh dia Aden. Dingin banget astaga. Gue nyerah deh deketin dia. Kalau ada yang bisa jadi pacarnya gue acungin jempol seratus."

"Lo over banget yakin." Timpal teman yang berada di sampingnya.

"Ya bayangin aja. Dia cueknya setengah mampus gitu. Kalau ada cewek yang jadi pacarnya kan berarti cewek itu kaya superhero kesiangan."

Destiny merasa kepo dengan orang yang dimaksut itu. Ia mencari sosok orang yang disebut-sebut oleh taman sekelasnya. Dan tatapannya bertemu dengan cowok ang membentaknya tadi.

"Aden? Nama yang bagus."

👫👫👫

Budayakan vote sebelum membaca.

Salam membaca,
A

MELTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang