Hujan deras turun semenjak pagi. Memaksa orang-orang untuk tidak melakukan perjalanan dan mengurung mereka di satu tempat untuk berteduh. Mereka sedang berada di dalam perjalanam pulang ke rumhnya setelah kunjungannya ke rumah sang kakek.
Kunjungan kali ini ke rumah kakeknya mungkin tidak semenyenangkan kunjungan sebelumnya karena Arabela yang tiba-tiba jatuh sakit dan merengek untuk segera pulang. Daniel tahu bahwa kakeknya mencemaskan keadaan Arabela dan merasa bahwa sebaiknya Arabela di rawat di tempatnya. Namun Arabela terus merengek dan merengek hingga akhirnya ayah dan ibunya mengabulkan permintaan kakaknya.
Sore itu mereka langsung melakukan perjalanan ke marquessate of Riverdale hanya untuk menemukan bahwa Arabela telah menggigil dengan hebatnya di dalam pelukan sang ayah. Gerimis kecil pun turun seolah menjadi pertanda bahwa sebaiknya mereka menepi dan bermalam di sebuah penginapan kecil tidak jauh dari hutan yang baru saja mereka lewati.
Malam itu terasa panjang. Kedua orang tuanya tidak tertidur sama sekali dan selalu siaga untuk mengawasi Arabela. Ketiadaan dokter membuat mereka kalang kabut dan yang bisa mereka lakukan adalah membuat Arabela tetap hangat. Kakak sulungnya, Phineas juga sama paniknya. Terlihat seperti sudah kehilangan akal ketika Arabela menjadi sakit sementara Daniel yang saat itu berusia lima belas tahun hanya bisa terdiam dan mengamati segalanya.
Daniel pergi ke dapur. Meminta pelayan membuat ramuan yang akan membuat Bela membaik dengan herbal yang Daniel tahu. Daniel juga lah yang memastikan bahwa selimut untuk Bela harus dihangatkan setiap satu jam sekali. Dirinya juga memastikan Phineas dan kedua orang tuanya menghabiskan makanannya. Mungkin dalam keadaan panik di malam itu, hanya Daniel lah yang tetap bersikap tenang dan bisa berpikir dengan tepat. Dan itu membuat Daniel bangga sekaligus sedih. Bukankah untuk orang normal, dirinya seharusnya bertindak bodoh dan menggila seperti Phineas? Bukankah Bela juga saudaranya? Namun dirinya tidak bisa melakukan itu. Daniel tahu bahwa dirinya harus bersikap bijak. Sejak dulu dia memang begitu. Sejak dirinya tahu bahwa bukan Phin yang akan mewarisi gelar dari ayahnya, melainkan dirinya.
"Kita harus menemukan dokter," gumam Wilona tersiksa. Tubuh Arabela tidak lagi menggigil, namun napasnya terdengar berat dan kepayahan.
"Aku akan mencarinya, Sayang."
Wilona menggeleng. "Tidak. Kita harus segera membawa Bela pergi dari sini."
"Tetapi hujan masih turun," gumam Daniel pelan lebih kepada dirinya sendiri.
"Baiklah. Aku akan menyiapkan kereta," ujar sang ayah tegas sebelum ia keluar dari kamar hangat itu. Tiga puluh menit kemudian, mereka telah siap dengan Bela yang tertutup rapat oleh selimut yang membungkusnya.
"Ayo," ajak Phineas sembari mengawal ibunya sementara sang ayah menggendong Arabela di pelukannya.
Mereka telah menaiki kereta itu. Bersiap untuk berangkat ketika mata Arabela terbuka dan mengatakan bahwa dirinya kelaparan.
"Aku akan mencari makanan di dalam," ujar ayahnya. "Tunggu di sini dan jangan ada yang keluar. Banyak orang akan membuat kereta tetap hangat."
Phineas mrngangguk. Sementara otak Daniel menghitung kalkulasi beban yang akan kereta mereka bawa ketika sudah berjalan. Benar bahwa panas dari tubuh menusia akan menyebar. Namun laju kereta yang pelan akan membuat Arabela tersiksa.
Ketika Daniel sedang sibuk dengan pikirannya, dia melihatnya. Sebuah tubuh kurus yang berdiri di tengah hujan. Menatap langit di atas bangunan penginapan yang baru saja mereka tinggalkan.
"Ada apa, Dani?" tanya Phineas yang kemudian sama tercekatnya dengan Daniel.
"Di- dia-"
"Peri hujan," guman Daniel tidak sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTRACTION [END]
Fiksi SejarahWritten by Raadheya. Masih sekuel dari Be Mine, dan Bastien Adam *** Masih ingatkan dengan keluarga Wood yang berakhir dengan bahagia? Lady Wilona Wood dan Lord Jeremi Wood memiliki tiga orang anak yang sama mempesonanya. Dan dari ketiganya, hanya...