Ke Rumah Nenek

177 4 0
                                    


Namaku Rain. Rain Milenia Aslan. Aku lebih suka dipanggil Rain, karena nama belakangku, Aslan, adalah nama ayahku. Sebenarnya aku juga merasa aneh dengan nama itu, karena namaku bermakna hujan. Padahal, saat aku lahir tak ada setetes pun air hujan yang turun. Setidaknya begitulah menurut cerita dari ibuku.

Aku lahir di Handapherang, Ciamis tahun 1990. Sebagai informasi, aku lahir pada tanggal ke 31 di bulan Desember pukul 23:59. Satu menit menuju tahun 1991. Sebenarnya tak terlalu penting aku memberi tahu kapan aku lahir. Tapi, menurutku itu sejarah yang hebat.

Kau tahu, aku aku adalah anak pertama dan kakak dari adikku. Dia laki-laki. Agak bandel. Tapi aku menyayanginya. Namanya Ardi. Ardi Januar Aslan. Bisa ditebak, dia lahir di bulan Januari. Kami hanya selisih 2 tahun. Menurut ramalanku, saat aku sudah besar dan jalan bareng Ardi, kami mungkin akan disangka pacaran. Dan itu benar, akan kuceritakan nanti.

Ini kisahku, Rain.

Saat itu adalah pagi pertamaku di Karang Jaya – di rumah nenekku. Aku bisa merasakan udara pagi yang sangat dingin. Apalagi rumah nenekku ini ada di daerah pegunungan. Pagi ini tepat pukul 5:45 dan aku mulai berjalan-jalan disekitar rumah nenekku.

Udara pagi membuatku semakin mengencangkan jaketku. Dingin. Ssekali aku menggosok-gosokkan tanganku dan meniupnya untuk sedikit menghangatkannya. Seharusnya aku memakai sarung tangan dan penutup kepala sebelum keluar dari rumah.

Aku duduk dibawah pohon besar, rindang, ada sarang burung diatasnya dan keluarga burung tentunya. Aku tak tahu pohon apa itu, yang pasti aku suka duduk dibawahnya. Aliran sungai kecil – lebarnya hanya sekitar 3 meter dengan bebatuan kecil yang tersebar – tepat dibawah kakiku membuat tempat itu akan menjadi salah satu tempat yang wajib aku kunjungi jika aku ke rumah nenek lagi.

"DUARRRR!"

Ardi mengagetkanku dari belakang. Tapi aku tidak begitu terkejut, karena aku sudah tahu dia mengikutiku dari tadi.

"Gak ada kaget-kagetnya lu, Rain" Ardi memang sering memanggilku Rain, aneh rasanya jika dia memanggilku kakak.

"Gue udah tahu, lo ngikutin gue dari tadi" jika ayah dan ibuku mendengar ini, mereka akan marah. Mereka sangat gak suka dengar aku dengan Ardi panggil gue elo.

"Anterin gue pulang" kata Ardi tanpa melihatku.

"Pulang aja sendiri, gue masih betah" jawabku malas.

Terkadang aku benci mempunyai adik seperti dia, mengganggu. Minta ini lah, minta itu lah. Dan sekarang, dia udah mau rusak momenku untuk menikmati udara pagi di bawah pohon dekat sungai. Perlu kalian tahu, saat itu aku kelas 11 dan dia kelas 9. Dan kau tahu, dia akan masuk SMA yang sama denganku. Semoga dia tak banyak membuat masalah.

"Kakakku yang cantik, tolong dong, anterin adikmu yang tampan ini pulang. Adik lupa jalan pulang" dia memohon dengan gaya bicara yang dibuat-buat. Menyebalkan.

"Di atas ada burung, adik tanya aja sama mereka. Minta anterin pulang sekalian. Mereka asli sini, pasti mereka tahu betul daerah disini" jawabku dengan nada yang dibuat-buat juga. Sebenarnya aku ingin menahan tawa. Dia memang panik karena lupa jalan pulang. Aku lebih tahu daerah ini, aku lebih sering kesini daripada Ardi. Dan aku tak menyangka dia mengikutiku sejauh ini.

Dia pergi. Dengan wajah yang tak indah dipandang tentunya.

"Ujang, sini" aku memanggil seorang anak yang kebetulan lewat.

"Ada apa, teh?" dia bertanya sopan.

"Ujang tahu rumah nenek Aminah?" aku bertanya dan dia mengangguk.

"Boleh, teteh minta tolong?" aku bertanya lagi dan dia mengangguk lagi.

"Lihat akang yang jalan kesana" aku menunjuk ardi yang pulang ke arah yang salah.

"Dia adiknya teteh, tolong kamu anter dia ke rumah nenek Aminah, dia lupa jalan pulang" lalu aku merogoh saku jaketku dan kebetulan aku membawa coklat dan beberapa permen. Aku berikan coklat dan permen kepada anak itu. Tentunya aku menyisakan dua permen untuk aku makan.

Anak itu kemudian berterimakasih dan pergi menyusul Ardi. Tak lama kemudian, aku melihatnya bersama Ardi dan mengantarnya pulang.

Aku kembali memperhatikan aliran sungai dan dan memakan satu permen. Rasanya manis, rasa jeruk. Setelah matahari sudah tak malu menunjukan rupanya, aku pulang. Lapar. Aku belum sarapan.

Rain dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang