Sore itu menjadi sore paling menyenangkan. Saat aku menunggu angkutan umum, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Aku senang. Hujan selalu membawa ketenangan untukku. Wangi jalanan dan tanah yang khas saat hujan turun. Aku suka.
Hujan turun semakin deras. Gemuruh pun terdengar nyaring. Namun, tak apa. Gemuruh tak merusak keindahan hujan. Malah membuatku semakin hanyut di dalamnya. Ingin sekali aku berlarian dibawah hujan, tapi baju seragam ini besok masih harus ku pakai. Tak akan kering besok pasti. Saat itu belum ada mesin pengering. Handphone pun masih layar kuning. Kau tahu sendiri lah.
Dari depan sana terlihat ada satu motor yang menepi di tempatku berteduh. Motor supra jika tak salah, berwarna hijau. Dan dia juga memakai seragam SMA jika aku tak salah lihat. Dia memarkir motornya dan berlari ke tempatku berteduh.
"Ikut neduh, ya" terdengar seperti memohon izin.
Aku mengangguk, aku masih belum mengenali dia, karena dia sedang membuka jas hujannya dan mengibas-ngibaskan jaketnya yang dia pakai sebelum jas hujan. Tapi seperti aku pernah mengenalnya. Lalu aku duduk di bangku yang ada disana sembari melihat hujan yang meliuk indah terbawa angin.
Beberapa detik kemudian, dia menoleh kepadaku.
"Kamu belum pulang?" dia bertanya.
Aku menggeleng dan menjawab seadanya "hujan" kataku.
Astaga, itu kak Indra. Aku disini, berteduh hanya berdua dengan kak Indra.
"Kamu kedinginan? Pake ini aja" dia memakaikan jaketnya dengan senyum yang, astaga, membuatku serasa terbang. Kau tahu, itu adalah hari terindah dala hidupku. Dunia serasa milik berdua, aku dan kak Indra. Yang lainya cuma ngotrak.
"Rumahnya dimana?" kak Indra bertanya.
"Di Handapherang" jawabku. Sebenarnya aku berharap banget dia nawarin buat nganterin aku pulang.
"Wah, searah. Mau bareng?" binggo! Dia ngajak bareng.
"Gak usah. Naik angkot aja" kataku, padahal dalam hati aku lagi jingkrak-jingkrak ketawa dan pengen banget jawab iya.
"Udah sore. Jam segini biasanya jarang ada angkot" tambahnya.
Akhirnya aku mengangguk dan mengizinkannya untuk mengantarkanku pulang. Dan memang itu yang aku mau.
Hujan semakin reda, meninggalkan pelangi yang pudar di langit sana. Kami –aku dan kak Indra- pulang dengan motor kak Indra. Senangnya. Sepanjang jalan, kami tak banyak bicara, hanya sesekali dia menanyakan arah menuju rumah.
"Mah! Si Rain bawa pacar, tuh, mah" teriak Ardi ketika kami tiba di depan rumah.
Shit! Itu anak nyebelin banget. Bikin marah aja. Kan aku jadi malu.
"Maaf, ya. Itu adik aku emang rada-rada" sambil aku memiringkan jari telunjuk dikening, mengisyaratkan gila. Dan aku salah tingkah sendiri.
"Gak apa, maklumin aja" Kak Indra tersenyum.
Aku membuka jaket yang tadi dipakaikan kak Indra dan mengembalikannya. Kak Indra memakai kembali jaket itu. Sebenarnya, dia menyuruh jaket itu aku pake dulu. Tapi aku nanti bingung balikinnya. Yang paling tepat sih, waktu itu aku males nyuci jaketnya.
Kak Indra menghidupkan motornya dan memainkan gas motornya sebelum pamit.
"Kak, kalo mau apel nati bawa makanan ya, kak!" Ardi berteriak lagi. Dasar adik biadab. Aku mengepalkan tangan dan mengumpulkan tenaga untuk memberinya pelajaran setelah kak Indra pulang nanti.
"Siap" jawab kak Indra lantang. Lalu dia melaju dengan mortornya.
Motornya sudah tak kulihat, pun dengan pengendaranya. Aku masuk dan menjadikan Ardi sebagai buruanku saat itu.
"Mah! Ada macan nyasar" Ardi berteriak sambil lari menuju rumah dan mengunci pintu. Ibuku yang sedng masak di dapur sontak saja panik dan meuju ruang depan untuk melihat.
"Mana? Macan dimana? Ko bisa nyasar kesini" ibuku panik.
"Mah! Bukain pintunya, ini Rain"
Ibuku membukakan pintu dan saat aku masuk, Ardi sudah ngacir menuju kamarnya.
"Ardiiiiiii" aku berteriak.
"Kalian kapan mau akur, sih" ujar ibuku yang mulai jengkel karena aku dan Ardi sangat sulit sekali akur. Setidaknya, sepulang dari rumah nenek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain dan Hujan
Teen FictionNamaku Rain. Aku suka hujan hingga suatu saat aku membencinya, mungkin.