Sebuah Ungkapan

31 1 0
                                    


Pagi ini terasa begitu indah. Mungkin, karena kak Indra berkunjung tadi malam,meski pun belum menyatakan cinta. Semoga saja, dia menyatakan cinta dalam waktu dekat ini.

"Kamu Rain, ya?" tanya seorang laki-laki yang aku tahu dia satu angkatan denganku. Tapi, dia dari X IPS. Bisa dipastikan dari cara berpakaiannya yang terlihat agak liar. Memang, saat itu murid IPA memang cenderung lebih rapi dalam berpenampilan.

"Iya, ada perlu apa, ya?" aku balik bertanya.

"Ini, ada titipan" dia menyodorkan sebuah amplop berwarna putih. Belum sempat aku bertanya, dia langsung pergi begitu saja.

"Mungkin, ini surat izin tidak masuk sekolah" pikirku.

"Cie, dapet surat. Surat cinta dari siapa, tuh?" kak Indra membuyarkan lamunanku seketika dengan ttawa khas yang selalu kurindu. Mungkin.

"Ini surat izin tidak masuk sekolah" jawabku tak begitu yakin.

"Kirain surat cinta" lalu dia pergi begitu saja menuju kelasnya.

Banyak teman sekelasnya memandang aneh kedekatanku dengan kak Indra. Apalagi para cewe yang caper sama kak Indra. Tak jarang, teman cewek kak Indra memandangku sinis. Menyebalkan.

Aku sendiri merasa tak nyaman mendapat pandangan yang begitu sinis itu. Seketika aku ingin lenyap dari bumi ini. Tapi, jika aku lenyap aku tak bisa bertemu dengan kak Indra. Sungguh membuatku dilema. Akhirnya aku kembali ke kelas dan menyimpan amplop putih yang masih tertutup rapat itu di meja guru.

Tak lama kemudian, bel berbunyi. Riuh murid mulai memenuhi kelas dan seketika hening ketika Pak Iwan memasuki ruangan. Yap, pak Iwan yang guru Fisika itu. Yang rumusnya njelimet itu. Bikin pusing.

Herdi, ketua kelas saat itu sigap memberi komando untuk memberi salamkepada pak Iwan. Lalu beliau duduk.

"Surat apa ini?" tanya pak Iwan.

"Surat izin tidak masuk sekolah, pak" jawabku spontan. Astaga, aku juga tak yakin itu surat izin tak masuk sekolah. Harusnya aku periksa dulu tadi.

Pak Iwan mengernyitkan dahi "Bukannya murid di kelas ini lengkap?" tanyanya kemudian.

Aku kaget. Siapa pun yang menangkap ekspresi kagetku saat itu ku pastika dia akan tertawa.

Tak lama berselang, pak Iwan membuka surat itu. Membacanya dan menghela nafas. Kemudian, pak Iwan membacanya dengan lantang surat yang ada di tangannya.

RAIN, AKU MENCINTAIMU.

#DILARANG PROTES!

"Tampaknya ini surat izin mencintai" pak Iwan tertawa.

Pun dengan teman-teman sekelas. Mereka tertawa dengan sesekali menyebut kata cie-cie yang aku cari di KBBI tak kutemukan artinya.

Sumpah. Saat itu aku malu. Ternyata apa dugaan kak Indra benar. Ini surat cinta. Tapi, darimana dia tahu? Atau dia yang mengirimnya? Dia ada di dekatku setelah aku mendapatkan surat itu. Oh, kak Indra. Jika itu memang darimu, aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.

"Malah ngelamun, suratnya mau disimpan apa bapak buang, nih?" tanya pak Iwan ketika aku melamun barusan.

Aku malu. Aku hanya mengangguk dan mengambil surat itu dan menyelipkannya di buku Fisika. Teman-temanku kembali bercie-cie ria. Tapi aku tak peduli. Aku bahagia mendapat ungkapan seperti itu.

"Dari siapa?" Nilam bertanya setengah berbisik.

Aku hanya menggeleng tanda tak tahu "Aku kira surat izin gak masuk sekolah" jawabku setengah ketawa. Tapi aku bahagia. Sangat bahagia. Nilam pasti mengerti.

Pelajaran berlanjut seperti biasa. Hingga pergantian jam pelajaran menuju Bahasa Indonesia, pikiranku entah dimana. Aku terlalu sibuk memikirkan pengirim surat itu dan terus berharap bahwa dia adalah kak Indra.

Rain dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang