Pintu kaca yang tadinya tertutup rapat terdorong kebelakang. Terhempas kembali seperti semula begitu langkah kaki sudah masuk kedalam. Mulutnya tidak berhenti bergerak. Mengunyah permen karet yang rasanya sudah menghilang. Dengan gaya berjalan seorang model, kaca mata hitam bertengger di hidung mancungnya. Lelaki itu mengangkat satu tangan ketika melewati counter perawat dengan berakhir semua perawat itu menjerit histeris.
Bibirnya tersenyum miring. Di persimpangan koridor, ia memutar tubuhnya ke kanan ala Michael Jackson dengan kedua tangan terangkat ke atas. Ia kembali berjalan dan menghampiri counter perawatan ICU sembari melepas kacamatanya.
"Pagi, Dokter," Sapa empat orang perawat yang langsung berdiri menyambutnya.
Ia hanya menganggakuk sekali. "Pasien saya?" Tanyanya memasukkan kacamata ke saku bajunya. "Ada perkembangan? Eh, saya visit dulu, deh,"
Lelaki itu melepaskan tasnya dan menggunakan jas kebanggaan miliknya. Empat perawat mengikutinya dari belakang. Memasuki satu per satu ruangan untuk memeriksa keadaan pasien.
"Ini nadinya udah cepet banget,"
"Iya Dok, tensi terakhir udah hampir tiga ratus,"
"Observasi, tolong,"
"Oke dok,"
Berjalan menuju ruangan lainnya. Lelaki itu membuka gorden hingga kamar yang tadinya kurang pencahayaan menjadi lebih terang.
"Udah transfusi yang keberapa?"
"Ketujuh sama yang ini," Perawat itu menjawab. "HB sepuluh, Trombosit normal. Hasil laboratorium udah ada,"
"Hasilnya?" Ia mengambil selembar kertas yang diberikan perawat. Membacanya sekilas lalu mengembalikannya. Lelaki itu mengangguk. Menatap punggung pasien yang membelakanginya. "Mau makan nggak?"
"Nasi kemarin gak dimakan, Dok,"
"Pasang NGT aja kalau gitu,"
Pasien tersebut berbalik cepat. "Tai, lo," Keempat perawat itu tertawa. "Dokternya bisa ganti, gak? Ini adalah alasan kenapa saya gak sembuh-sembuh,"
"Kalau begitu kami permisi dulu,"
"Status pasien tolong bawa ke sini semua. Saya isi di sini saja,"
"Oke, Dok."
Keempat perawat meninggalkan keduanya. Dokter yang bernama Evos langsung menarik satu kursi dan duduk menghadap Brayn yang saat ini menjadi pasiennya.
"Jadi, lo masih gak mau ceritain kronologinya? Ayolah, Bray. Hidup itu harus berbagi, bukan makanan doang yang harus dibagi,"
Brayn mengganjal belakang tubuhnya dengan bantal, posisi menyandar yang nyaman. "Gue udah ceritain semuanya,"
"Cerita lo ngelantur. Lo habis minum oplosan kan?" tuduhnya.
"Tai." Evos tertawa. "Kapan gue pernah ngibulin lo?"
"Kalau emang lo digigit sama kuntilanak, mana buktinya? Leher lo gak ada luka sedikitpun,"
"Jadi maksud lo, darah gue keluar sendiri dari tubuh gue? Gitu? Nais banget lo," Brayn menunjukkan telapak kakinya dihadapan Evos
"Ya buktinya gak ada, Bray." Evos menepis kaki Brayn. "Tubuh lo gak ada luka sama sekali. Darimana hilangnya semua darah dalam tubuh lo? Udah tujuh kantung darah yang masuk, lo sekarat dua hari. Kalau aja Xalio telat bawa lo, mati lo. Sono samperin awewe lo," Keduanya menoleh ke pintu masuk. "Bawa sini," Tumpukan map warna-warni sudah berada di hadapan Evos. "Rencananya emang mau masuk rumah sakit. Mau jadi dokter. Eh, malah jadi pasiennya," Evos tertawa geli. "Makanya jangan durhaka sama orang tua,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast [COMPLETED]
Vampire#12 In Vampire [14-06-2018] "Candice. Can dalam Bahasa Inggris artinya Bisa. Dice dalam bahasa Yunani mempunyai arti Keadilan. Candice, karna aku berharap kamu bisa membawa keadilan. Jadi, kamu punya nama sekarang. Hai, Candice. Aku Brayn, si ganten...