[Sembilan] Debaran Jantung

5.3K 507 39
                                    

Brayn mengusap wajahnya. Merenggangkan otot tubuhnya yang sedikit kaku. Rambutnya berantakan, matanya belum terbuka sepenuhnya. Sayup-sayup ia menormalkan semua sistem tubuh. Menguap, menggaruk pinggangnya dengan menoleh ke kanan-kiri.

Mengambil benda pipih yang sedari tadi bergetar dan berkelap-kelip. Pemberitahuan spam chat dari perempuan gila. Seketika Brayn mendengus. Membukanya dengan malas.

Monica : *sendpicture

Monica : Aku baru ganti warna rambut nih, suka gak?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Monica : Aku baru ganti warna rambut nih, suka gak?

Brayn : Gak!

Brayn mematikan notifikasi Monica. Melempar ponselnya dan menghempaskan punggungnya ke belakang. Ia menarik nafas dan menghembuskannya pelan.

Niatnya untuk segera mandi gagal. Brayn mengambil ponselnya kembali. Menggeser tombol hijau itu ke samping sebelum ia tempelkan ke pipi.

"Iya, Pa?" Jawabnya dengan suara khas bangun tidur. Brayn mengusap wajahnya. "Em, nanti sekitar jam sembilan aku ke sana. Oke,"

"Tunggu,"

Benda pipih yang hampir menjauh dari telinga ia dekatkan kembali. "Kenapa?" Tanyanya bingung.

"Monica siapa?"

Brayn mengerutkan keningnya. Menggaruk punggungnya. "Emang siapa?"

"Pacar kamu?"

"Nggak lah, gila aja!" Jawabnya dengan intonasi tinggi. Brayn berjalan ke dapur, membuka kulkas. "Maaf, Pa. Emosi," Sadar siapa yang bicara padanya saat ini, Brayn mengatur nada bicaranya. "Kenapa Papa tiba-tiba tanya Monica? Kenal dari mana?"

"Papi Monica mau ketemu sama kamu?"

Brayn mengerutkan keningnya. "Lah, ngapain?" Seketika kesadaran Brayn kembali seratus persen.

"Kamu apain anaknya? Kamu gak hamilin dia kan?"

"Ye, gila kali. Anaknya itu saiko, gangguan jiwa. Gila aja aku hamilin dia. Gila ketemu gila, jadi gila anaknya nanti. Mikir juga aku mau hamilin anak orang," Brayn menepuk bibirnya. "Maksudnya milih istri, Pa,"

"Kamu gak suka?"

"Ya nggak-"

Sambungan terputus...

Bibir Bryan yang masih terbuka menatap ponselnya dengan naas. "Kebiasaan. Gak Xalio gak Bapaknya, kalau ngomong gak jelas," Brayn meletakkan ponselnya di meja. Mengeluarkan air dingin dari dalam kulkas, menuangkannya ke gelas.

Meneguk segelas air putih di tengah rasa penasaran. Sejak dulu, Tengku tidak pernah menanyakan hal yang bersangkutan soal perempuan yang dekat padanya. Saat ia menjalin hubungan dengan Qymora saja, Tengku hanya menggangguk-anggukan kepala. Meski tahu juga, Tengku tidak akan bertanya, contohnya Candice.

Outcast [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang