Selain sebuah rasa kebahagiaan dan kesedihan. Candice menemukan rasa baru beberapa hari terakhir. Jika Brayn pergi darinya, meski berkata bahwa hanya sebentar dan akan kembali, Candice begitu takut. Emosi yang ia kendalikan terkadang membuatnya seperti sebuah ancaman.
Banyak hal yang sudah ia pelajari dan Brayn ajarkan untuknya. Menjadikan Candice mempunyai sebuah harapan dan Brayn selalu mengatakan bahwa hidup itu indah. Candice tahu maksud Brayn, namun ia memilih diam. Sampai detik ini, ia tidak pernah berfikir untuk bertukar tempat. Semua orang punya takdir dan kehidupan masing-masing. Candice tidak ingin mengambil kehidupan seseorang.
Dirinya hanya sebuah awan yang melintas di hadapan matahari lalu menghilang. Jika ia terlalu lama, maka semua orang akan kehilangan sebuah cahaya. Bisa di katakan, Candice membawa kehidupan kelam yang tidak diinginkan.
Meski begitu. Candice sangat berterima kasih kepada Tuhan. Mengenalkan ia pada sosok lelaki bernama Brayn. Tidak lama namun berkesan. Tidak dekat namun rindu.
Mungkin hanya ia yang merasakan jika Brayn perlahan menjauh. Sering meninggalkan dirinya seperti sekarang. Yang bisa Candice lakukan hanya duduk menunggu Brayn, terus menatap jarum jam yang berdetak, berputar hingga langit kehilangan cahayanya.
Kedua kaki Candice seperti mati rasa. Terlalu lama duduk membuat tulang kakinya kaku. Meski sakit, ia masih betah berlama-lama di sana. Karena belum ada tanda kepulangan Brayn, jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
Matanya yang hampir terpejam gagal dengan kedatangan seseorang yang tidak pernah ia harapkan. Kedatangannya bersama angin dan suara mengerikan lainnya. Langit berubah menjadi gelap mencengkam. Angin yang datang membuat pepohonan yang tubuh di pertengahan jalan bergoyang. Dedaunanya rutuh menutupi aspal.
Burung gagak hitam besar berubah menjadi sosok perempuan cantik. Rambutnya hitam tergerai panjang. Matanya tajam dengan lipstik merah merona di bibir tebalnya. Perempuan itu tersenyum, bertepuk tangan lalu tertawa seperti orang gila. Menatap Candice penuh dengan penghinaan.
"Lepasin." Ujar Candice lembut namum sedikit tegas. Tubuhnya terikat oleh ranting dedaunan. "Kita tidak ada kepentingan."
"Ouhh sayang," Lousa menekuk kakinya hingga berhadapan dengan Candice. Gaun hitam yang ia pakai menyeret lantai. Kuku panjangnya menyentuh pipi Candice yang mulus. Seperti pisau jika saja Candice bergerak akan menimbulkan luka. "Aku rindu padamu Outcast,"
Candice menatap tajam. "Apa maumu,"
Lousa menggeleng dengan mata menyipit. "Jangan tuduh aku menginginkan sesuatu darimu, sayang. Tapi tuduhan mu benar kali ini," Lousa tersenyum lebar. "Siapa?" Candice mengepalkan kedua tangannya. "Laki-laki yang bertahan setelah di gigit seorang Vampire?"
"Lepaskan aku, Lou," Candice menggerakkan tubuhnya. Nafasnya menjadi lebih berat karena Lousa mulai masuk ke apartemen melalui jendela yang terbuka. Candice menoleh ke belakang dengan cepat. "Dia tidak punya urusan denganmu,"
"Kenapa kau begitu takut? Aku tidak akan menyakitinya, aku hanya penasaran seperti apa sosok manusia itu,"
"Lepaskan aku jika begitu. Aku akan mengenalkanmu padanya,"
"Tenang sayang, aku ingin melihatnya se-"
Suara tombol di depan pintu apartemen terdengar. Membuat Candice dan Lousa saling beradu pandang. Senyum Lousa mengembang seketika sementara Candice menggeleng cepat. Sebuah kode untuk tidak melakukan hal di luar pikiran.
Lampu yang menyala langsung mati seketika. Begitu pintu terbuka menampilkan sosok lelaki bertubuh gagah dan berparas tampan memasuki apartemen. Brayn menghidupkan kembali seluruh lampu apartemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast [COMPLETED]
Vampire#12 In Vampire [14-06-2018] "Candice. Can dalam Bahasa Inggris artinya Bisa. Dice dalam bahasa Yunani mempunyai arti Keadilan. Candice, karna aku berharap kamu bisa membawa keadilan. Jadi, kamu punya nama sekarang. Hai, Candice. Aku Brayn, si ganten...