Pernah merasakan di saat bangun tidur semuanya tiba-tiba menjadi hampa? Seolah melewatkan sesuatu yang berharga namun tidak tahu dalam wujud seperti apa. Rasa kehilangan padahal semua orang masih terjaga. Rasa seperti ingin menangis tapi tidak ada sebab. Rasa sesak membuat dada menjadi sempit di kala oksigen ingin masuk namun begitu sulit.
Saat terbangun dengan kondisi yang sama namun terasa asing. Ruangan, hembusan napas, tawa seseorang dan juga sebuah sentuhan. Semuanya menjadi tanda tanya yang sampai saat ini belum bisa ia rangkai menjadi sebuah pertanyaan.
Ada yang salah dengan dirinya.
Brayn sudah menanyakan hasil pemeriksaan seluruh tubuhnya. Mungkin saja ada organ tubuhnya yang hilang atau di tambah. Namun semuanya normal. Tidak ada yang aneh, hanya dirinya sendiri yang mengganggap semua itu terasa janggal.
Ketika mata terbuka. Saat itu ia merasakan sesuatu yang berharga telah ia lupakan dan pergi meninggalkannya. Entah apa, Brayn hanya bisa bergelut dengan pemikirannya sendiri. Ia yakin ada yang ia lupakan. Ia yakin ada yang tidak masuk akal dengan keberadaannya di rumah sakit.
Masih berada di dalam ruangan intensive. Brayn mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Terbaring di ranjang dengan tubuh bersandar ke belakang, sengaja ranjang di bagian punggung di naikkan sehingga menjadi sebuah sandaran. Beberapa hari ia terus berusaha mengingat sesuatu namun tidak berhasil. Sama sekali tidak ada gambaran dari semua gejolak aneh hatinya.
Satu persatu orang pergi dari ruangan itu. Memberikan semangat atau hanya sekedar menyapanya. Brayn tidak bisa berbuat banyak kecuali membalas dengan senyuman dan juga kalimat kocak yang sering ia lontar kan. Agar semua orang menganggap ia baik-baik saja.
Nyatanya, setelah semua pergi. Brayn kembali merasa begitu sakit di bagian dada. Ia tidak mengerti kenapa ingin menangis. Ia bukan lelaki yang suka mengeluarkan air mata. Bryan benci itu, ia hanya akan membuat orang di sekitarnya khawatir ataupun membuat mereka bersedih.
Cukup ia dan Tuhan. Brayn hanya ingin mengungkapkan semua keresahan itu pada pemilik ingatan.
Brayn menoleh saat pintu ruangannya terbuka. Masuk seorang perempuan dengan setelan jas putih. Kedua sudut bibirnya membentuk bulan sabit. Berjalan menghampiri Brayn.
"Kita mulai terapi lagi, dr.Braynes." Ujar Laica duduk di sisi ranjang Brayn. Kedua bola matanya berbinar, menatap Brayn penuh dengan semangat.
"Ca," Panggil Brayn begitu pelan. Laica berdeham. Menunggu kalimat selanjutnya yang akan di katakan lelaki itu. "Lo itu dokter spesialis anak, ngapain ngurusin gue?" Brayn mendorong kepala Laica yang ia panggil Ica itu dengan gemas. Menghilangkan semua pemikiran kalutnya saat ini.
Laica mendengus dan mengusap keningnya. "Kenapa?" Laica membalik pertanyaan sebelum berkata. "Karena mereka gak mau baper waktu ajarin lo,"
"Lah? Gak profesional dong?"
"Emang. Hanya gue dokter yang profesional di rumah sakit ini." ujar Laica menepuk dadanya bangga. "Lo sih, suka godain orang. Rasain akibatnya,"
"Absen dulu lah, gue mau istirahat,"
Dengan cepat Laica berdiri. Ia menggeleng. "No, No, Bray. Sakit itu jangan di manja. Lo pernah bilang ke gue kan? Khotbah di depan gue lebih dari dua jam padahal gue minta lo periksa, bukan di ceramahin. Cepetan, Manja banget,"
"Kan manjanya sama lo, doang, Ca,"
"Dih," Laica mengedikkan bahunya. "Ayo cepetan, gue belum visit hanya buat temenin lo terapi. Cuacanya lagi bagus pagi ini, pas buat lo." Laica mendorong kursi roda di sudut ruangan dan ia dekatkan ke ranjang, menguncinya agar tidak bergerak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Outcast [COMPLETED]
Vampire#12 In Vampire [14-06-2018] "Candice. Can dalam Bahasa Inggris artinya Bisa. Dice dalam bahasa Yunani mempunyai arti Keadilan. Candice, karna aku berharap kamu bisa membawa keadilan. Jadi, kamu punya nama sekarang. Hai, Candice. Aku Brayn, si ganten...