[Empat] Aku hidup, Kamu hidup

5.8K 741 47
                                    

Tepat jam enam pagi Brayn tiba. Matahari masih malu-malu menampakkan wajahnya. Jika kondisi tubuhnya fit, dua jam sebelumnya ia sudah sampai. Namun Brayn tidak ingin mengambil resiko. Ia beberapa kali memilih beristirahat atau tidur sebentar.

Karna tidak mungkin kembali ke rumah. Brayn memilih OX untuk dijadikan tempat persinggahan. Ada sebuah kamar tidak terlalu luas yang biasanya selalu dijadikan tempat istirahat oleh Migel. Alasan lain karna OX terlindungi dari cahaya. Tidak ada cela matahari yang bisa masuk.

Brayn menutup rapat pintu kamar. Ia meletakkan cup mie yang sudah ia seduh dengan air panas di meja. Duduk di sofa yang tidak terlalu panjang. Ia memperhatikan Candice yang kini sedang meneliti kamar dengan luas empat kali lima. Ada satu buah tempat tidur di pojok kamar. Lemari tua yang tingginya sebatas lutut. Sofa kusam di tengah ruangan dan meja yang lumayan besar.

"Kamu yakin gak mau?" Candice menoleh. "Makan,"

"Aku gak makan makanan manusia," Candice berjalan mendekati Brayn. Duduk disebelah lelaki itu.

"Jadi maksud kamu, sekarang kamu mau buat aku sekarat lagi?" Candice menggeleng. "Terus?" tanya Brayn mulai antisipasi jika Candice tiba-tiba ingin menggigitnya.

"Darah kamu beda,"

"Ciielah, ngakak gak nih?" Brayn menepuk pahanya sembari tertawa. "Darah suci? Geli dengernya,"

"Aku gak tahu. Tapi kamu beda dari yang lainnya. Kamu masih bertahan setelah aku gigit tiga kali," Tawa Brayn terhenti. "Orang yang aku gigit akan berakhir dengan kematian. Tapi kamu nggak,"

"Kenapa?"

Candice menggeleng. "Dan setiap aku menghisap darah seseorang. Mereka gak bisa buat aku kenyang ataupun berhenti. Harus butuh lima orang agar aku bisa tenang. Darah kamu beda, aku merasa seperti menjadi sosok manusia kembali sehabis minum darah kamu. Yang terpenting, aku gak butuh darah dalam beberapa hari setelah minum darah kamu,"

Brayn tertawa hambar. "Lucu," gumamnya menganduk mie. Mencampurkan semua bumbu. "Jadi berapa lama darah aku bisa nahan rasa lapar kamu?"

"Empat hari."

"Jadi, semua kasus orang meninggal di sekitar rumah sakit, semua itu karna kamu?" Candice menunduk, mengangguk pelan. "Kamu bilang udah gigit aku tiga kali. Bukannya dua kali?"

"Beberapa bulan yang lalu kita udah pernah ketemu. Waktu itu kamu-"

"Ohh," Brayn bertepuk tangan sekali. Kejadian yang ia pikir di gigit oleh kuntilanak. "Iya, aku inget."

"Aku kira kamu mati. Ternyata nggak,"

"Iyalah, abang anak baik neng," Brayn menyeruput mie dengan cemilan gorengan yang ia beli di jalan. "Serius gak mau? Enak loh,"

"Hambar,"

"Tapi mau?"

"Nggak."

Brayn mendengus. "Terus. Kamu selamanya mau ngikutin aku? Bertahan hidup dengan minum darah aku?"

"Nggak,"

"Jadi?"

"Kamu tahu Outcast. Tubuh mereka akan rusak jika tidak meminum darah segar. Aku akan mati dengan sendirinya, kalau merasa semuanya harus dihentikan,"

"Sekarang?"

"Belum,"

"Kenapa?" Brayn mengelap ujung bibirnya. "Mau cari tahu kenapa kamu bisa jadi vampire?"

"Nggak," Brayn mengangkat satu alisnya. "Mau tahu apa isi dunia,"

"Gak perlu tahu. Isi dunia kamu hanya aku," Candice mengerutkan keningnya. "Kalau mau tahu isinya, banyak. Yang penting aja. Dunia gak seindah apa yang kamu pikirin," Candice terdiam. Membiarkan Brayn menghabiskan makanannya terlebih dahulu. "Kalau aku gak mau kasih darah ke kamu, gimana?"

Outcast [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang