[tujuh] Pertemuan Tak Terduga

4.4K 588 56
                                    

Selain mempunyai cita-cita sebagai pembalap, Brayn juga pernah mempunyai mimpi sebagai seorang koki. Dari umur delapan tahun ia suka melihat Syanes memasak. Meski tidak pernah sekolah khusus memasak, rasa masakan Brayn cukup di perhitungkan. Hanya saja butuh mood yang bagus untuk menyuruhnya memasak.

Brayn suka mengapresiasikan sesuatu pada suatu masakan jika sedang bahagia. Jika ia kalut, Brayn selalu melampiaskannya pada mobil.

Karena tidak ada masakan siap saji atau delivery seperti yang biasa ia lakukan jika berada di kota. Disini, mau tidak mau Brayn harus masak setiap hari, jika tidak ia tidak akan bisa makan. Penjual masakan matang memang ada, namun jaraknya sangat jauh dari rumahnya. Terlebih Brayn punya perkebunan kecil di belakang rumah, mau apa tinggal petik.

Pagi ini Brayn berencana memasak cah kangkung. Bangun tidur sebelum mandi ia langsung memetik kangkung. Menyiapkan semua bumbu sebagai penyedap, namun sebenarnya bukan itu yang membuat makanan enak. Syanes selalu berkata, bumbu paling ampuh di dalam makanan itu adalah kasih sayang dan cinta. Dan Brayn selalu menggunakan rasa itu di kehidupan sehari-hari.

"Lauknya apa, ya," Bryan menggaruk ujung alisnya. Membiarkan sayur kangkung di dalam wajan agar sedikit lembut. Ia berbalik, membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa ia goreng.

"Ah, gue lupa gak belaja karna mau pergi," Brayn menutup pintu kulkas. Membereskan barang yang berserakan karena ulah Candice yang bermain bersama Zoey.

"Can!?" Brayn meletakkan dua buah bantal ke sofa. "Can jangan di berantakin kamarnya!"

Brayn kembali menuju dapur. Mengaduk sayur di wajan sekali lagi sebelum mematikan kompor.

"Zoey," Brayn menoleh, melihat Candice yang mengejar Zoey melewati pintu belakang. Pemandangan seperti itu sudah sangat biasa bagi Brayn namun kali ini berbeda. Sendok yang ia pegang jatuh ke lantai begitu saja.

Brayn terteguh. Ia berdiri di ambang pintu dengan wajah tidak percaya menatap Candice  yang berdiri di luar menggendong Zoey. Keduanya saling beradu pandang sebelum akhirnya Zoey terlepas dari pelukan Candice dan berlari menjauh.

Candice menggerakkan bola matanya. Ia menunduk, menatap Brayn lalu menatap tubuhnya sebelum menatap benda bulat di angkasa yang di penuhi cahaya, matanya menyipit seketika.

"Can?" Panggil Brayn pelan. Ia berjalan mendekati Candice, membingkai wajah perempuan itu. "Oh God," ujarnya tidak percaya.

Brayn memeriksa tubuh perempuan itu yang biasanya menjerit jika terkena sinar ultraviolet. Kali ini Candice berdiri seperti patung.

"Mungkin ini faktor aku minum darah kamu satu bulan ini," Brayn mengangguk. Candice mengedipkan matanya dua kali. Mendongak menatap Brayn yang tersenyum dengan mata berbinar. "Kamu bahagia?"

"Iyalah,"

"Kenapa?"

"Karena darah aku gak percuma dong," Brayn melepas apron di tubuhnya. Mengambil dua pancing di lemari atas dan satu ember di kamar mandi. "Emang kamu gak mau jadi manusia? setidaknya kebiasaan manusia bisa kamu lakukan,"

"Nggak," jawabnya polos mengikuti Brayn dari belakang.

"Kenapa?"

"Kalau aku sudah terbiasa dengan semua kebiasaan itu, Aku akan melihat orang-orang yang aku kenal tinggalin aku satu persatu." Brayn berbalik. "Kematian. Aku akan abadi nantinya,"

"Kok lucu, sih," Brayn terkekeh geli, mencubit pipi Candice gemas. "kematian di tangan tuhan, sayang. Bukannya bagus kalau kamu abadi? Nanti waktu aku reinkarnasi, kamu bisa kenalin aku duluan." Candice menatap teduh. "Kita mancing, mau?"

Outcast [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang