Scabiosa: [2]

134 20 5
                                    

Suara bising yang terdengar membuatku membuka mata. Kedua mataku langsung menyisir keadaan sekitar. Beberapa orang mulai beranjak keluar, dan yang lain terlihat sibuk mencari tempat duduk masing-masing. Seorang ibu yang semula duduk disampingku juga melakukan hal yang sama. Wanita itu sempat tersenyum ramah padaku sebelum akhirnya berdiri menggandeng anak perempuannya. Setelah membalasnya dengan senyum dan anggukan kepala, aku memeriksa jam tangan yang melingkar di tangan kiriku. Ternyata perjalananku masih cukup panjang.

Aku kembali menyandarkan punggung, membenarkan posisi dudukku yang terasa tidak nyaman.

Nyatanya, bukan hanya posisi dudukku saja yang terasa tidak nyaman. Perasaanku juga demikian.

Entah kenapa, aku juga tidak tahu alasannya. Mungkin pertanyaan Manda tadi membuatku kembali memikirkan sesuatu yang seharusnya sudah aku lupakan.

Seharusnya.

“Mama, minum aku…”

“Kamu sih, kan udah Mama bilang, minumnya nanti lagi kalau udah diluar.”

Aku menoleh.

“Aduh, maaf ya, Mas. Anak saya nggak sengaja.”

Mendengar suara permintaan maaf dari ibu yang duduk disampingku tadi, sepertinya anak perempuannya itu menumpahkan minum ke seseorang. Laki-laki yang bajunya terkena noda coklat itu tidak menjawab, namun ia tetap mengangguk sopan.

“Sekali lagi saya minta maaf ya, Mas,” ucap Ibu itu sembari menarik anaknya menjauh.

Pandanganku kini sudah beralih menatap jendela di sampingku. Baru saja aku hendak kembali memejamkan mata, seseorang baru saja datang dan menduduki kursi di hadapanku.

Aku melirik lewat sudut mata.

Ah, laki-laki bernoda coklat itu ternyata.

“Ada tisu nggak?”

Mulutku tak menjawab, tetapi tanganku bergerak membuka resleting tas dan mengeluarkan tisu dari sana. Kuarahkan benda itu padanya.

Tanpa memindahkan kotak tisu dari tanganku, laki-laki itu menarik beberapa lembarnya keluar. “Thanks, ya.“

Aku menggumam dan menganggukkan kepala.

Sebenarnya aku hendak kembali memasukkan tisu ke dalam tas, tetapi tangan kananku mendadak berhenti dan mengambang di udara begitu pandangan mataku bertemu dengan kedua matanya yang juga menatapku. Mulutku sontak menganga. Kedua mataku melebar.

“Fadel?”

Aku benar-benar tak menyangka.

“Kamu benar Fadel, kan? Fadel Anggara?”

Kuperhatikan, gerakannya mengusap baju sempat terhenti sepersekian detik sebelum akhirnya tangannya meremas lembaran tisu yang sudah berubah warna menjadi kecoklatan.

“Ini aku, Raya.”

Laki-laki itu menatapku datar.

“Maaf, tapi aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya.”

Apakah dia sedang bercanda?

ScabiosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang