Scabiosa: [8]

152 21 5
                                    

Atau mungkin tidak.

Kesempatanku masih ada. Sekarang. Tepat saat ini, sebelum laki-laki itu melangkahkan kakinya lebih jauh meninggalkanku yang masih berdiri di samping kereta yang sudah berhenti.

“Hei, tunggu!”

Aku memanggilnya. Berlari menghampirinya tanpa ragu. Berhenti dua langkah di depan laki-laki yang berdiri menatapku dengan datar.

Persetan dengan dirinya yang mengatakan kalau ia tak pernah melihatku. Aku yakin, dia sedang bercanda saat mengucapkan hal itu.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Dengan santai, ia memutuskan sambungan teleponnya yang sedang terhubung dengan seseorang. Sementara dengan susah payah, aku mengumpulkan seluruh keberanianku.

Aku terus meyakinkan diriku kalau laki-laki ini memang benar Fadel.

Dan inilah kesempatanku untuk mengungkapkan semuanya.

Aku menghela napas dalam-dalam, sebelum akhirnya kuhembuskan perlahan.

“Aku menyukaimu. Sudah sejak lama. Sejak pertama kali kamu memperlihatkan badge seragammu padaku. Di tepi jalan di dekat kompleks rumah kita, saat pertama kali kamu mengatakan kalau kamu adalah masa depanku.

“Aku menyukaimu, Fadel. Dari dulu hingga sekarang.”

Aku menghembuskan napas lega. Benar-benar lega, karena akhirnya aku sudah mengungkapkan semuanya.

Sempat kutangkap ekspresi yang sedikit ganjil di wajahnya lewat kedua mataku. Aku tak tahu. Aku tak bisa mengartikan ekspresi yang sempat kutangkap itu. Karena sepersekian detik berikutnya, ia kembali dengan ekspresi yang selalu ia tampakkan selama beberapa jam terakhir.

“Aku—“

“Nggak usah. Kamu nggak perlu menjawabnya. Aku hanya merasa kalau aku harus mengatakannya, karena aku nggak mau terus-terusan dihantui perasaan ini.”

Aku tersenyum. Menatapnya. Laki-laki yang kuyakini sebagai Fadel-ku ini.

“Aku tahu, mungkin ini terasa menyebalkan bagimu. Kau mungkin saja menganggapku manusia aneh yang sialnya duduk di depanmu selama perjalanan. Tapi entah kenapa, aku yakin kalau kamu memang dia. Dia yang selama ini aku cari keberadaannya.

“Setelah ini, kamu boleh melupakan semua yang terjadi hari ini. Kamu boleh melupakanku. Kamu boleh menganggapku orang aneh yang kau temui di kereta—atau bahkan orang gila, karena kurasa aku benar-benar sudah gila. Tapi tolong, sebentar saja, biarkan aku menggila dengan ekspektasiku. Biarkan aku menganggap kalau kamu memang dia.”

Aku melangkah maju. Tanpa bisa kucegah, tanganku bergerak meraihnya. Mendarat pada wajah yang selama ini hanya bisa kusimpan dalam ingatan.

“Kamu lebih tinggi, tetapi juga lebih kurus dari yang terakhir kali aku lihat.”

Tersadar, aku menarik tanganku dari wajahnya. Aku sadar kalau aku harus berhenti, sebelum kegilaanku mengambil alih semuanya.

Aku menjauh satu langkah darinya.

“Kuharap kau selamat sampai nanti tiba di tempat tujuanmu. Lain kali, jangan biarkan seorang perempuan aneh yang baru saja kau temui di kereta menyentuh wajahmu dan menganggapmu sebagai orang yang selama ini ia cari.”

Aku tertawa getir. Dan dia masih menatapku tak bergeming.

“Jaga dirimu baik-baik. Jangan pergi sendirian, kalau kamu nggak mau bertemu lagi dengan orang aneh sepertiku.

“Jangan jadi orang menyebalkan yang malah tidur dan memasang headset ketika di depanmu ada orang yang berusaha mengajakmu bicara.

“Jangan hanya diam dan menatap orang dengan tatapan datar seperti itu, karena nggak akan ada yang bisa membaca pikiranmu.

Aku terdiam sejenak. “Hm, apa lagi, ya.”

Kulihat laki-laki ini menghembuskan napas kesal. “Kamu—“

“Jangan mudah melupakan seseorang, karena mungkin dialah yang selalu menyimpanmu baik-baik dalam ingatannya.

“Apapun yang menjadi rutinitasmu saat ini, kuharap kau selalu bisa melaluinya dengan baik. Jangan lupa makan yang teratur. Jangan mimpi buruk. Kalau bisa, jangan lupakan aku.”

Aku tersenyum.

“Selamat tinggal, Fadel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Selamat tinggal, Fadel.”

ScabiosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang