Selama beberapa jam ini, tidak ada yang kulakukan selain berusaha untuk mengacuhkan keberadaannya. Tetapi, sampai kapanpun aku tak bisa membohongi diriku sendiri.
Aku sungguh ingin mengajaknya berbicara. Mengenang semua cerita yang kusimpan rapi-rapi dalam ingatanku.
Ini sudah kali keempat aku berusaha menarik perhatiannya. Membuatnya memperlihatkan bola mata hitam yang selalu menatapku dengan hangat—dulu.
Mendeham berkali-kali;
Menanyakan sampai dimana kereta ini berjalan;
Menggumamkan kalimat yang mungkin bisa menarik perhatiannya—heboh ketika melihat pemandangan dari jendela, misalnya;
Bahkan, aku juga sempat menendang kakinya dari bawah meja dengan sengaja.
Rasanya aku benar-benar bisa gila hanya untuk membuatnya berbicara denganku.
Aku tahu, mungkin aku terdengar sangat menyedihkan. Terus saja melakukan hal konyol hanya untuk membuatnya terbangun dari tidurnya—yang menurutku hanya berpura-pura.
Sungguh, aku benar-benar ingin memastikan kebenarannya.
Tapi aku juga sadar, aku hanya menjadikan diriku sendiri sebagai orang aneh dihadapannya.
Menyerah, aku menyandarkan punggungku. Tangan kananku yang terlipat di tepi jendela kugunakan untuk menyandarkan kepalaku. Sepertinya saat ini aku harus berpuas diri hanya dengan menatap pemandangan dari jendela kereta yang bergerak cepat.
Aku mendesah lelah. “5 tahun bukan waktu yang sebentar, asal kamu tahu.”
“Aku juga tahu, kalau 5 tahun bukanlah waktu yang sebentar.”
Perlahan, aku mengarahkan mataku ke depan, menatap sosok laki-laki yang masih terpejam di tempatnya persis seperti yang ia lakukan selama beberapa jam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scabiosa
Teen FictionScabiosa: Ketika Cintamu Tidak Beruntung. 5 tahun menghilang dan dia muncul begitu saja hanya dengan kalimat: "Maaf, tapi aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya." Dedicated for #ValentinesContest2018