1

426 53 9
                                    

Nayanika Parasyudiati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nayanika Parasyudiati

Kalian baru saja membaca namaku. Nama lengkapku. Nama yang selalu kutulis di sampul buku sekolah, pojok kanan kertas ulangan, lembaran formulir, dan lain-lain, sejak aku berumur dua belas tahun. Sebagai tanda bahwa kita resmi berteman mulai detik tulisan ini terbaca, kalian bebas memanggilku apa pun, tapi aku sangat berterimakasih kalau hanya 'Naya' danㅡ

"Eh, Yudiati! Sini!"

ㅡbukannya 'Yudiati' seperti yang barusan.

Nyebelin.

Aku mendongak, menemukan seorang cewek cantik berambut sebahu berdiri di ambang pintu sambil menghentak-hentakkan kaki. Tangan kanannya dilambaikan dengan cepat, memintaku segera ke sana. "Cepet, ah!"

Duh.

Buru-buru aku menutup notebook dan menghampirinya. Sebentar, jalannya harus sedikit terlihat panik. Aku juga harus kelihatan kaget sedikit.

"Maaf, maaf. Kenapa, Ta?"

Iya, itu Paramita Ningrum, biasa dipanggil Mita. Salah satu yang terpopuler di sekolah sekaligus menjabat sebagai wakil ketua kelas. Dia mendengus kesal kemudian menggigit bibir.

Aku menahan napas menatap wajahnya yang tetap ayu meski memasang ekspresi masam. Cewek ini beruntung. Terlepas dari sifatnya yang super menyebalkan hingga terkadang muncul keinginan dalam sisi gelapku untuk menghabisinya dalam satu kali serangan, kelihatannya dia menjalani kehidupan super menyenangkan sehingga membuatku selalu menahan diri agar tidak bersikap terlalu kejam.

"Ada doi di kantin lagi sama temen-temennya. Aku malu, tahu nggak?" Mita bersuara lagi, membuatku segera mengusir jauh pikiran jelek yang penuh iri dengki ini. Serta-merta aku menggeleng dan memasang wajah polos, menandakan ketidaktahuanku yang malah membuat Mita berdecak.

"Ya, pokoknya aku malu. Tapi aku laper. Kamu beliin aku nasi goreng bisa? Sama air putih aja, yang dingin. Ayo, gih, cepet. Keburu bel. Pake duitmu dulu, ya. Aku nggak ada uang kecil."

Dih, nyuruh-nyuruh.

Kalau dipikir belasan kali, luar biasa juga anak ini. Sejak pertama aku menginjakkan kaki di sekolah, menjadi teman sekelasnya, dan berusaha sekeras mungkin bersikap ramah, dia bersama wajah manis itu malah memperlakukanku seperti keset welcome seolah-olah aku akan selalu menyambutnya dengan riang. Andai saja aku bisa memberinya siraman hujatan.

Apa? Aku jengkel karena disuruh membeli nasi goreng? Tidak, serius.

Aku sama sekali tidak keberatan memenuhi permintaannya kok. Toh membeli nasi goreng bukan aktivitas yang mengancam nyawa. Kecuali kalau nasi gorengnya harus dibeli di suatu tempat yang jauh hingga mengharuskanku untuk mendaki gunung, melewati lembah, serta berenang menyeberangi lautan penuh ikan hiu.

Hanya saja, aku merasa ada yang kurang dari kalimatnya barusan. Coba, apa susahnya mengucapkan 'tolong' dan 'terima kasih'? Itu perkara penting, tahu?

Sejahat apa pun aku, tiga kata ajaib yang diajarkan oleh dinosaurus ungu bernama Barney akan selalu kutanam dalam otak. Aku sangat ingin mengingatkan Mita agar tidak kalah sopan dengan anak-anak di serial dinosaurus ungu dan betapa aku sangat termotivasi untuk membawanya ikut belajar di TK. Namun, diriku yang jago berlagak pilon ini malah mengangguk patuh tanpa melawan.

SURYAKANTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang