Chapter 1

930 49 4
                                    

"Kayak apa orangnya?" tanya Sowon semangat.

"Mana gue tau," jawabku malas sambil menjepit ponselku dengan kepalaku dan bahuku, bersamaan dengan itu aku berusaha menarik rok yang tersangkut dipanggulku. "Oh, great," desahku sebal. "Sekarang rok gue kekecilan. Mungkin gue menggen...."
"Lo pakai rok?" pekik Sowon tertahan.
"Kenapa emangnya?" tanyaku bingung.
"Oh... Jangan bilang lo pakai rok cokelat yang ada pita kecilnya itu," ujar Sowon tanpa memedulikan pertanyaanku. Aku langsung melirik rok cokelat yang baru saja berhasil aku kenakan. "Lo pakai apa buat atasannya?" tanya Sowon lagi.
"Well.... ummm... kemeja putih kerah shanghai," jawabku makin bingung.
"Yang tangan buntung ada payetnya itu?"
"Emangnya kenapa, sih?" tanyaku sebal.
"Darling, lo akan sangat terlihat desperate," jawab Sowon mendesah. "Dua puluh sembilan tahun, lonely, dan berharap bisa bikin Datu Maringgi tertarik karena pita kecil lo itu!!!!?"

Hummmpph. Dengan sebal kucopot rok cokelat yang sudah susah payah aku kenakan. "Jadi gue mesti pakai apa?" tanyaku jengkel sambil meneruskan "Daster?!"
Sowon tergelak mendengar kesewotanku.
"Bentar, jangan ditutup," perintahku cepat. Kemudian kulempar ponselku ke atas ranjang dan mencopot atasan putih kerah shanghai yang kupakai dengan cepat. "I'm back," kataku pada Sowon yang masih menunggu di seberang sana. Sambil mendengarkan ceramah Sowon tentang teknik memilih pakaian, aku membongkar lemariku. Terlalu rapi, formal, seksi, polos, modis, santai, santai, santai.... Pasti mommy langsung melotot, terlalu... AHA! Kemeja putih lengan pendek dan jeans.
"Sempurna," komentar Sowon senang. "Tapi jangan pakai aksesoris."
Pangeran kodok ini benar-benar menyusahkan. Bahkan sebelum sempat bertemu dengannya, dia sudah berhasil membuat kamarku amburadul.

"Yuna..." panggil mommy setengah menjerit dari balik pintu kamarku yang terkunci. "Tante Jessica sama anaknya sudah nunggu, tuh."
Hebat! Pangeran kodok dan calon ibu mertuaku sialan.
"Sebentar lagi, mom," jawabku sebal. "Aku lagi pakai sanggul."
Sayup-sayup kudengar suara Sowon yang tergelak dari seberang sana.
"Jangan bercanda!" hardik mommy jengkel. Kemudian kudengar suara langkah kaki mommy yang menjauh.

"Bercanda? Gue?!" semburku jengkel pada Sowon lewat telepon yang masih kujepit dibahuku. "Bukannya mom yang lagi bercanda sama nasib gue?" gerutuku sambil memoles bedak dengan cepat di wajahku.
"Mungkin," jawab Sowon santai. "Tapi siapa tau dia emang jodoh lo."

What??

"Emangnya Tuhan pikir gue enggak bisa nyari sendiri apa?" hardikku kesal.
"Lo? Nyari sendiri jodoh lo? Hello...," ejek Sowon tergelak. "Lo bahkan enggak pernah bisa pertahanin hubungan lebih lama dari masa menstruasi gue."

Kampret!

"Mbaaak...," panggil Samuel, adikku, dari balik pintu kamarku. "Kata mommy jangan bunuh diri."
"Enggak lucu!" hardikku geram yang membuat Samuel tergelak puas. "Kenapa sih, gue jadi enggak normal cuma gara-gara gue belum kawin?!"
"Karena lo punya kantung rahim, Darling," jawab Sowon kalem. "Kantong rahim sama kayak susu Ultra. Mereka punya expire date."
"Yeah," sahutku sinis. "Sementara sperma kayak wine. Masih berlaku untuk jangka waktu yang lama."
Sowon tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya sebelum aku menutup sambungan telepon karena mendengar jeritan Samuel untuk kedua kalinya.

OK, the show must go on.

Pangeran kodok itu sedang duduk manis di samping ibunya sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar mom dan Tante Jessie bicara. Aku tidak berani terlalu memerhatikannya, tapi selintas kulihat dia cukup normal. Bukan seorang lelaki tua berkepala botak dengan gigi emas, dan dasi kupu-kupu. Dia tampan, bukan sekedar tapi sangat tampan. Wajahnya yang datar dan dingin, mata sayu, dan senyum yang lembut. Dan terlebih lagi, proporsi badannya sangat pas. Apa benar dia yang akan dijodohkan denganku? Entah mengapa dia sampai perlu dijodohkan oleh ibunya. Bukankah populasi kaum perempuan sangat berlebih? Kenapa bisa dia kesulitan mendapatkan salah satu dari kami untuk dijadikan calon istrinya?

"Hallooo Yuna...," sapa Tante Jessie dengan wajah berbinar sambil mencium pipiku. "Makin cantik aja kamu."
Basa-basi yang benar basi. Kubalas sambutannya dengan senyum yang susah payah kubuat semanis mungkin. Kulihat wajah mom juga sama berbinar-binarnya. Bahkan matanya sempat berkilat aneh ketika mom melirikku dan pangeran kodok itu bergantian. Mungkin mom berencana untuk berkata, "Nak, ini hadiah kejutan untukmu. Karena sekarang hari sangat cerah, kamu mendapat seorang istri."

Hebat!

"Yuna, ini Sinb," kata tante Jessie memperkenalkan putera mahkotanya yangs sekarang berdiri di depanku. Aku berusaha sekuat tenaga membuat wajahku tersenyum dan bukannya menyeringai aneh. Dengan anggun, kutatap Pangeran Kodok yang sedang balas menatapku dengan mata tanpa ekspresi.

Oh, tidak.... Dia seperti Taehyung!!!

"Sinb," ucapnya singkat sambil mengulurkan tangan ke arahku. Sebuah senyum samar terukir di wajahnya. Kemeja biru muda lengan pendek yang dia kenakan bahkan tidak mampu menghangatkan wajahnya yang terlihat dingin.

"Yuna..., atau Yuju," sahutku datar dan cepat-cepat menarik tanganku dari genggamannya. Mom salah memilih calon menantu. Dia bukan pangeran seperti yang slalu mom promosikan, melainkan Frankenstein. Bahkan mungkin lebih buruk lagi. Walaupun memiliki paku di kepalanya, paling tidak Frankenstein masih punya sepotong hati. Sambil berusaha terlihat tenang, aku berjalan menuju kursi kosong di samping Samuel. Sekilas kulirik Papi yang sedang duduk sambil memandang dengan wajah kaku ke arah lukisan abstrak berkombinasi warna merah dan kuning yang mencolok. Sepertinya papi sama tersiksanya denganku, tetapi atas dasar alasan yang berbeda. Bukan karena aku sedang dijodohkan dengan seorang Frankenstein, tetapi karena hari ini, rencana mom berjalan mulus tanpa aksi demo.

TBC

Well, read and enjoy this.

Ketika Jodoh di Tangan Ibu (Sinju) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang