CHAPTER 9

257 35 1
                                    

"Dia ngelamar lo?!" pekik Umji nyaring. Wajahnya yang terkejut terlihat bodoh. "Gimana caranya dia bisa mau kawin sama lo? Pacaran sama lo aja enggak! Dia tau enggak kalau tidur lo ngorok?"

Buk!

Kulempar bantal dengan sebal kearah wajah Umji. "Jangan bercanda!" bentakku jengkel. "Ini serius, Ji!"

"Jelas aja serius," jawab Umji tidak kalah jengkel. "Sejak kapan urusan kawin enggak serius?"

"Lo udah tolak dia kan, Ju?" tanya Sowon menyelidik.
"Belum," jawabku pelan.
"Kenapa?" tanya Umji mencemooh. "Karena lo takut ini satu-satunya kesempatan lo untuk dilamar lelaki?"

"Gimana kalau emang cuma ini kesempatan gue?" tanyaku tertegun. "Kalau gue tolak kesempatan ini, Tuhan enggak akan ngasih kesempatan yang lain untuk gue."

Umji menatapku dengan wajah takjub. "Apa lo sadar kita lagi bicara tentang lelaki, komitmen dengan lelaki, dan kawin?" tanya Umji gemas yang hanya bisa kusambut dengan desahan putus asa. "Tiga hal yang sebaiknya jangan dilakukan dalam waktu yang bersamaan."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Karena Umji slalu merasa terintimidasi oleh lelaki," ejek Sowon kalem.

"I love men," sanggah Umji cepat sambil membaringkan tubuhnya diatas kasur. "Tapi, to love a man dengan to live with a man adalah dua hal yang berbeda."

"Lelaki adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berkomitmen," sanggah Sowon sambil mengganti saluran televisi yang selama ini hanya menjadi musik latar bagi kami.

"Dengan apa?" cemooh Umji.
"Perempuan," jawab Sowon mantap.

Umji hanya menolehkan kepalanya ke kiri untuk melihat Sowon sesaat dengan pandangan mencela. "Lo benar," sahut Umji malas sambil meluruskan kepalanya menghadap ke langit-langit kamar. "Lelaki memang memiliki kemampuan untuk berkomitmen with woman and another woman."

Aku mendesah putus asa mendengarnya. Kubaringkan tubuhku disamping Umji. Sowon pun melakukan hal yang sama. Kami bertiga terlentang berdampingan. "Jadi gue mesti gimana?" tanyaku merana.

"Have a good time," jawab Umji acuh sambil menggulingkan tubuhnya dan berusaha mencari posisi yang nyaman untuk tidur. "Satu hal yang membedakan kita dengan pasangan menikah."

Benarkah?
Mungkin dia sedikit mabuk.
Dengan Corona?!

Well, dia kan sudah mulai tua, jadi mungkin jarak antara otak dan lambungnya memang semakin dekat. Mungkin, sebenarnya itu gunanya irisan jeruk nipis. Untuk merenggangkan jarak antara lambung dan otak.

Pada saat jam menunjukkan pukul tiga pagi, Sowon kembali membahas tentang masalah lamaran Sinb. "Apa yang lo takuti, Yuju?"

Umji sudah tertidur pulas saat itu, dengan posisi yang amburadul.
"Sakit," jawabku setelah terdiam beberapa saat.
"Darling...," desah Sowon dengan wajah iba. "Percaya sama gue, apapun tujuannya, pada akhirnya semua orang yang kawin emang cuma saling menyakiti."
"Sok tau!"
"Itu yang gue liat di orangtua gue."

"..."

Kemudian Sowon beringsut mendekati Umji yang sedang tidur dengan mulut setengah terbuka. Dia mulai menggambar wajah Umji menggunakan spidol warna hitam. Sesudahnya kami berdua cekikikan melihat wajah Umji dengan kumis kecil ala Hitler.

"Apa cinta emang ada, Sowon?"
Sowon menghela nafas dengan gaya yang menyebalkan dan menatapku seksama. "Yuju, sebenarnya lo emang nyari jawaban tentang cinta, atau karena Sinb, lo jadi nyari jawaban tentang cinta?"
Sinb?


****


Aku terbangun karena kaget mendengar jeritan histeris Umji. Sambil duduk dengan badan yang serasa melayang, aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih terasa berat. Umji keluar dari kamar mandi dengan muka marah sambil menunjuk kumis kecil ala Hitler hasil kerajinan tangan Sowon. Sedetik aku terpana menatapnya tapi sedetik kemudian, aku sudah tertawa terbahak-bahak sampai badanku hampir terguling dari atas tempat tidur. Umji menggeram dengan wajah bengis sebelum berlari masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya. Perlu waktu hampir dua jam aku membujuk Umji agar mau memaafkan Sowon.

Akhirnya, Umji memutuskan untuk berdamai dengan Sowon setelah hampir satu jam dia melakukan gerakan meditasi ala yoga di balkon kamar hotel kami. Sambil menggumamkan beberapa huruf yang terdengar aneh, dia merasa mendapat pencerahan jiwa. Setelah perdamaian terjadi, aku dan Umji memutuskan untuk pergi kepantai. Menghabiskan siang sambil mengamati tubuh Sowon yang terseret-seret ombak.

"Apa cinta emang ada, Ji?" tanyaku tercenung sambil menatap laut yang terlihat silau.

"Mungkin," jawab Umji acuh sambil berusaha membuat balon dari permen karetnya. "Kadang-kadang lo mesti belajar untuk berhenti berpikir. Cinta biasanya datang disaat orang lagi enggak mikir."

"Apa cinta slalu datang untuk orang-orang bego?"
Apalagi istilah yang tepat untuk orang yang tidak berpikir selain bego?

Umji terbelalak menatapku. "Apa lo pernah dengar istilah mabuk kepayang karena jatuh cinta?" tanyanya serius yang kujawab dengan anggukan. "Apa lo pikir orang pintar pernah mabuk tanpa alkohol?"
Dia memang hebat! Entahlah, hebat atau aneh.

"Apa lo enggak takut jadi perawan tua, Ji?"
"Mungkin nanti," jawabnya, dan pada akhirnya dia berhasil membuat balon permen karetnya. "Tapi sekarang gue lagi menikmati hidup seperti lelaki. Bebas!"

"Emangnya lo enggak kepingin kawin?"
"Kenapa?" tanya Umji sambil menoleh kepadaku dengan wajah yang malas. "Lo udah kepingin kawin?"
"Enggak!"

Umji kembali membuang pandangannya ke arah laut sambil meniup-niupkan permennya. Beberapa kali permen berwarna merah muda itu pecah sebelum sempat terbentuk menjadi balon. "Kadang-kadang gue suka kepikiran juga, sih," kata Umji tanpa mengalihkan perhatiannya dari Sowon yang sedang tergulung ombak. "Tapi lebih sering sih gue ngerasa enggak kepingin kawin."

"Kenapa?" tanyaku penasaran sambil mengalihkan perhatianku dari Sowon kepada rambut Umji yang ujung kuncir kudanya bergoyang tertiup angin.

"Gue mungkin cinta sama Suga sekarang," jawab Umji sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah sangsi. "Tapi dua puluh lima tahun lagi??"

Suga adalah pacar putus-sambungnya Umji yang sebenarnya tidak pernah benar-benar jelas statusnya. Dua minggu yang lalu, Suga memberitahu Umji bahwa sebaiknya mereka mulai me-review (mengikuti istilah Suga) hubungan mereka. Suga memberikan keterangan samar bahwa dia belum siap punya sebuah hubungan yang serius. Dan menurutnya lagi, dia belum yakin apakah Umji yang terbaik buat dia. Umji tidak terlalu kaget mendengarnya karena hubungan mereka memang tidak pernah terlalu jelas sejak awal. Walaupun menurut Umji, dia merasa sedikit patah hati, tapi sepertinya Umji memang tidak terlalu mencintai Suga. Apalagi semenjak mengikuti kelas yoga dan pencerahan diri, Umji meyakini bahwa hidup adalah sebuah keseimbangan. Dan dia merasa Suga tidak terlalu seimbang dengannya.

"Oh my god!" desah Umji ngeri. "Pernikahan adalah waktu yang lama untuk cinta!"

"..."

Aku mendesah lelah sambil kembali menatap laut dengan pandangan mengantuk. "Kadang gue pikir, gue enggak pingin kawin. Tapi kadang gue ngerasa itu enggak normal dan seharusnya gue emang kawin. Tapi gue takut sakit kalau gue kawin. Tapi gue juga takut kesepian kalau gue enggak kawin."

Umji menoleh sesaat dan menatapku dengan sebal. "Focus, Dear," sarannya gemas. Kemudian dia kembali memecahkan permen karet didalam mulutnya dengan bunyi pletok-tok-pletok yang nyaring.

Aku menatap Umji dengan sebal. Kombinasi pertanyaannya dan bunyi pletokkan yang mengganggu itu membuatku kesal. "Maksud lo?"

"Focus sama apa yang lo mau raih dalam hidup lo," jawab Umji sok bijak. "Bukan sama ketakutan lo."

"..."




TBC

Hallo, balik lagi sama gua. Sorry banget 2minggu ini gua gak update, tapi gua bakalan update seperti pada biasanya. Kemarin itu, tugas akhir sekolah numpuk banget. Thanks buat para pembaca yang sudah sukarela memberikan vote dan komen karna itu sangat berarti buat gua supaya semakin rajin untuk update.

Enjoy this, Yuju still adoubt qkqkqkq

Ketika Jodoh di Tangan Ibu (Sinju) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang