Chapter 2

10.6K 601 7
                                    

Ramia tengah duduk memandangi Gerald yang tengah tersenyum sinis dan penuh makna ke arahnya. Sambil mengusap dagunya dengan ujung jari telunjuk, Gerald membuka laci meja kerjanya dan melemparkan sebuah amplop berwarna coklat ke atas meja di depan Ramia.

"Tip. Buatmu!" Kata Gerald memperhatikan Ramia yang mengerutkan alisnya sejenak.

Perlahan, Ramia membuka amplop coklat tersebut yang ternyata berisikan beberapa lembar uang di dalamnya.

"Walaupun sedikit, kau cukup pantas menerimanya" Sambung Gerald lagi yang dibalas desisan sinis oleh Ramia.

"Tumen... Biasanya kau sangat serakah"

Kedua mata Gerald melebar mendengar ucapan Ramia yang merendahkannya. Dengan kesal, dia dia berdiri dan menunjuk angkuh pada gadis muda tersebut.

"Seharusnya kau bersyukur karena aku masih mau memberikanmu beberapa lembar, mengingat hutangmu yang menggunung padaku!" Seru Gerald merasa kesal mendengar nada bicara Ramia yang seolah-olah mengomentari sikapnya selama ini. "Lagi pula, itu adalah pemberian dari Tuan Rafka karena ia sangat puas dengan hasil kerjamu. Jadi, dia memberikan tip itu sebagai bonus."

"Dasar sialan!" Umpat Gerald menekan emosinya dengan membuang pandangannya ke arah lain.

"Ya... Ya... Ya... Aku bekerja bukan untuk mendapatkan uang. Tapi, membayar hutang. Pada lintah darat, tentunya dan aku sadar diri." Balas Ramia sinis bangkit dari duduknya membawa amplop coklat tersebut bersamanya.

"Thanks," Ucap Ramia sambil menggoyangkan amplop tersebut ke arah Gerald yang masih memandangnya penuh amarah.

"Aku akan pakai ini untuk membeli baju baru. Bagaimana pun, aku harus terus tampil sempurna di depan calon mangsaku, bukan?" Ramia menyeringai puas melihat kesinisan di wajah Gerald. Ia sangat tahu kalau lelaki itu sangat benci kepadanya. Dan ia juga yakin kalau sudah lama Gerald ingin menghajarnya, atau bahkan membunuhnya jika saja Ramia tidak memiliki sesuatu yang bisa pria itu manfaatkan.

Tidak mendapatkan jawaban apapun dari pria itu lagi, Ramia memutuskan untuk berpaling. Ia beranjak hendak meninggalkan ruangan itu, sebelum ia menyadari sesuatu.

"Oh, ya..." Ia berbalik dan kembali mendapati Gerald tengah meliriknya jengkel. "Bisa aku bertanya sesuatu?"

Gerald melirik Ramia tak suka. Meski kesal bukan main dengan wanita muda itu, Gerald masih urung untuk menghajar Ramia dengan kedua tangannya, selama gadis itu masih punya hutang padanya.

"Tanya saja... Belum tentu aku akan menjawab," Ketus Gerald memalingkan wajahnya dan kembali mendaratkan bokongnya ke atas kursi putar yang menjadi status kepemilikannya selama ini.

Dengusan kesal terdengar dari hidung Ramia, tapi ia mencoba mengabaikan sikap Gerald terhadapnya.

"Tentang pria yang menjadi korban kemarin... Pria bernama Avram itu... Kenapa Tuan Rafka ingin menghancurkannya?" Tanya Ramia terdengar cukup penasaran.

"Memangnya kenapa? Memangnya apa urusanmu?"

"Ya... Aku hanya heran saja... Sepertinya pria bernama Avram itu adalah pria yang baik. Tapi, kenapa Rafka justru ingin menghancurkannya? Dia bahkan hanya ingin minta menikah saja, kan? Lalu kenapa Tuan Rafka tampaknya sangat membenci rencana tersebut?" Tanya Ramia panjang lebar mengungkapkan rasa penasarannya terhadap Avram. Pria yang ia nilai memiliki suatu kebaikan di hatinya itu, justru akan dihancurkan oleh sepupunya sendiri. Rasanya aneh saja melihat pria yang memiliki sikap yang terbilang baik—abaikan dia pernah memanggil Ramia dengan sebutan wanita gila, karena itu adalah hal yang wajar dilakukan— justru akan dihancurkan oleh keluarganya sendiri. Apa maksudnya?

Gerald yang mendengar pertanyaan bernada polos itu pun langsung terkekeh pelan. Perlahan, dia bangkit dari kursinya lagi dan mendekati Ramia yang terlihat masih menanti jawaban itu dari Gerald.

"Inilah yang membuat aku selalu berpikir kalau suatu saat nanti kau akan terjebak, Ramia. Karena ini!" Kata Gerald membuat Ramia mengerutkan dahinya bingung. "Kau terlalu mudah menyimpulkan sesuatu tanpa tahu apa yang dipikirkan oleh orang lain yang menjadi objekmu! Kau terlalu polos, Ramia... Terlalu polos!"

"Apa maksudmu, Gerald? Aku kan hanya bertanya? Kenapa kau malah mengomentariku?!" Sembur Ramia tak terima karena Gerald malah menghakiminya seperti itu.

Dengan tatapan mengejek, Gerald pun kembali berkata,"Dan sudah kubilang, kan? Belum tentu aku akan menjawab pertanyaanmu....Mia"

Dan yah... Ramia mengerti. Arti tatapan menyebalkan itu adalah isyarat bagi Ramia untuk pergi. Karena, jika sampai lima detik ke depan dia masih berhadapan dengan Gerald juga, Ramia tidak yakin kalau dia dan pria berbadan besar itu akan terhindar dari yang namanya saling membunuh.

"Baiklah... Kalau begitu, aku pergi" Ujar Ramia pelan sambil menggemeletukkan giginya menahan geram.

"Semoga harimu buruk,  Gerald!" Seru Ramia benar-benar pergi meninggalkan ruangan itu dengan suara hempasan pintu yang tertutup dengan kencang.

***


*bersambung*

Happy Reading...

Setelah ini, aku usahakan buat update sesuai jadwal yang biasa, ya... Bagi yang udah sering baca cerita aku, pasti taulah hari apa aja aku update... 😉

Do'ain semuanya lancar2 aja, ya... 😘😘

Ah, ya... Selamat menyambut puasa esok hari, bagi yang menjalankan... Dan siap2 tarawih yak... 😇😎

Tengkyuuu ~_~

Medan, 18 Februari 2018

16 Mei 2018

Weddings Are (not) Big Business (Tersedia di PlayStore!) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang