D

698 112 1
                                    

Perlahan, cahaya mulai memenuhi kembali pengelihatan Yeri. Gadis itu membuka matanya dan mendapati ia berada di naungan atap rumahnya. Gadis itu berada di kamarnya.

Yeri menggerakkan tubuhnya. Seiring gerakan tubuh gadis itu, tuan dan nyonya Kim yang berada di dekatnya pun langsung tersentak.

"Yeri-ya? Kau sudah bangun?" Tanya nyonya Kim.

Yeri bergerak merubah posisi tubuhnya dari yang tadinya terbaring menjadi duduk sambil bersandar ke kepala tempat tidurnya. Tuan dan nyonya Kim pun dengan sigap membantu gadis itu merubah posisinya agar ia merasa nyaman.

Kompres di kening Yeri terjatuh ke arah pahanya ketika gadis itu sudah terduduk. Yeri mengambil kompres itu sambil mengerinyit bingung.

Nyonya Kim mengusap puncak kepala Yeri pelan. Wanita itu menyunggingkan senyum keibuan yang sangat Yeri sukai. Matanya menatap Yeri lembut, layaknya seorang malaikat tak bersayap.

"Kenapa kau berada di depan rumah lama keluarga Jeon, Yeri-ya?" Tanya nyonya Kim.

Yeri tersentak. Benar juga, dirinya terakhir kali memang sedang berada terduduk di depan pintu rumah lama keluarga Jeon. Terakhir yang ia ingat, pandangannya mengabur saat ia menggigil di sana.

"Kau demam Yeri." Nyonya Kim kembali membuka suaranya.

Yeri menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba mengisi semua paru-parunya dengan oksigen semaksimal mungkin. Lalu ia menghembuskan oksigen tadi yang sekarang sudah menjadi karbon dioksisa.

"Aku--"

Tangan Yeri bergetar. Ia serasa tak mampu menjelaskan ke kedua orang tuanya betapa ia merindukan sosok lelaki itu. Ia menggigit bibir bawah bagian dalamnya.

"Aku rindu saja."

Senyum mengembang secara terpaksa di bibir Yeri yang sudah memucat, seperti tak ada lagi darah yang mengalir di bibir gadis itu.

Melihat senyum mengembang di bibir gadis itu, tuan dan nyonya Kim menghembuskan napas lega. Setidaknya mereka dapat melihat senyum terkembang di bibir putri semata wayang mereka itu.

Tuan Kim yang tadinya berada di belakang kursi yang nyonya Kim duduki maju selangkah ke depan, membuat dirinya berada dekat dengan putrinya itu. Tangan pria itu bergerak mengusap puncak kepala Yeri lembut, ditemani dengan senyum hangatnya.

"Kalau begitu, kami keluar ya. Beristirahatlah, Yeri-ah."

Yeri tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. "Ne, appa."

Tuan dan nyonya Kim melangkahkan kaki mereka menuju ke pintu, hingga akhirnya keduanya menghilang disertai suara pintu tertutup.

Yeri menggerakkan kakinya yang tadinya terbalut selimut menuju ke lantai. Indera peraba di kakinya merasakan dinginnya lantai menusuk kakinya hingga ketulang. Yeri masih merasakan kepalanya pusing, dan ia merasa kesulitan untuk melangkah. Tapi gadis itu tetap turun dari kasurnya dan berjalan menuju jendela di kamarnya, lalu ia membuka jendela kamarnya itu.

Aroma udara yang habis diguyur oleh air mata awan menyeruak di indera penciumannya. Tatapan matanya menjelaskan bahwa gadis itu sedang kelabu. Bukan kelabu dalam artian warna. Tapi kelabu dalam artian, seperti awan. Awan yang akan menangis pasti akan berwarna kelabu. Dan Yeri membenci awan kelabu. Tepatnya ia membenci awan kelabu tepat dihari saat keluarga Jeon pindah, dan hari sedih itu selalu ditemani dengan rintikkan air mata dari awan kelabu.

"Oppa, aku membutuhkanmu sekarang."

•••

Letter House - jungriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang