E

681 122 1
                                    

Hari ini adalah hari Minggu. Dan pagi-pagi Yeri sudah disambut oleh tangisan awan kelabu, membuatnya merasa suntuk untuk beranjak dari selimut dan kasurnya yang hangat.

Yeri membuka selimut yang tadinya menutupi seluruh tubuhnya hingga wajahnya terlihat. Gadis itu menurunkan kakinya, sehingga dingin lantai yang terlapisi keramik itu langsung serasa menusuk kakinya.

Yeri memakaikan kakinya alas berupa sandal, lalu berjalan menuju ke arah jendela kamarnya. Gadis itu menatap jendelanya yang masih tertutup kaca itu suntuk. Ia dapat melihat jelas rintik-rintik hujan yang jatuh membasahi kaca jendela kamarnya.

Ia melangkahkan kakinya. Saat hendak masuk ke kamar mandi, gadis itu melirik sejenak ke arah msja belajarnya dan melihat sebuah amplot surat telah terlipat rapi disana.

Hari ini memang mungkin bukan jadwal dirinya untuk mengirim surat rutin tiap minggu ke rumah keluarga Jeon, namun entah mengapa ia ingin mengirimkannya hari ini. Bukan pada hari Senin seperti biasanya.

Dengan sigap gadis itu mengambil jas hujannya, meraih surat itu, lalu berjalan setengah berlari ke arah pintu keluar rumahnya.

"Yeri-ah!"

Yeri bak menulikan telinganya, ia tak menghiraukan teriakan dari Nyonya Kim, dan tetap melanjutkan langkahnya--atau mungkin lari--ke arah rumah lama keluarga Jeon.

Gadis itu membuka pintu putih rumahnya. Namun, hal pertama yang ia lihat adalah seorang lelaki yang memegang payung, berdiri di trotoar jalan sambil menatap rumah keluarga Jeon.

Yeri memiringkan kepalanya, menatap ke arah lelaki itu. Yeri pun menutup pintu rumahnya. Merasa ada suara, lelaki itu menolehkan kepalanya ke arah pintu rumah keluarga Kim, tempat Yeri berdiri sekarang.

Tak peduli pandangan dari lelaki itu, Yeri tetap berjalan--lagi-lagi setengah berlari--menuju ke rumah keluarga Jeon sambil memeluk suratnya, melindunginya dari rintik-rintik hujan.

Yeri berjalan melewati lelaki itu, lalu berhenti kala ia berada di depan pintu bercatkan coklat tua itu. Seperti biasanya, ia memasukkan surat di lubang surat yang berada di pintu itu, tetap dengan senyum manisnya. Senyum penuh harapan.

"Cepat kembali ya, Jungkookie..."

Usai mengucapkan kata-kata yang lebih seperti bisikkan itu, Yeri kembali melangkah setengah berlari kembali ke arah rumahnya. Yeri kembali melewati lelaki aneh itu--yang masih berdiri membeku di tempat. Lalu sebelum ia masuk ks rumahnya, ia menatap lelaki itu sejenak, lalu melanjutkan masuk ke dalam rumahnya.

Orang aneh. Batinnya pelan.

•••

"Stop disini pak."

Sopir taxi yang Jungkook tumpangi menginjakkan kakinya di rem mobil. Usai membayar, lelaki itu menginjakkan kakinya keluar taxi putih yang ia tumpangi.

Derai hujan mulai membasahi tubuhnya. Dengan sigap, lelaki itu mengeluarkan payung--yang entah mengapa selalu ia bawa di kopernya--dari dalam tasnya lalu memakainya agar derai hujan tak membasahi tubuhnya lagi.

Disinilah lelaki itu menginjakkan kakinya sekarang. Di depan rumah bercatkan abu-abu. Rumput di halaman depan rumah itu masih rapi, mungkin karena kedua orang tuanya yang tak pernah lupa meminta pengurus komplek untuk memotongnya.

Lelaki itu menarik napas pelan, lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan. Tersiratkan kenangan masa kecilnya. Berputar-putar di otaknya bagaikan film usang. Jujur, Jungkook merindukan semua itu. Tapi takdir memaksanya untuk melupakan hal itu. Dan takdir kembali membuatnya mengingat hak itu.

Jungkook menolehkan kepalanya kala mendengar suara pintu terbuka. Indera pendengarnya dapat mendengar suara itu dengan jelas walau diiringi dengan suara derai rintik hujan.

Letter House - jungriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang