3. Like a movie

56 5 0
                                    

Aku melirik jam tanganku ketika taksi yang kutumpangi semakin dekat ke kantor tujuanku. Pukul tujuh lewat sepuluh menit. Pagi ini secara ajaib Jakarta bebas macet, tapi aku malah berharap tiba-tiba macet menghadang didepan jalanku karena bisa kupastikan dalam lima menit aku sudah akan tiba di tempat tujuanku. Itu artinya aku harus menunggu selama lebih dari sembilan puluh menit lamanya sebelum waktu wawancara tiba.

Aku merutuki diri karena kebodohanku yang langsung berangkat menuju gedung tempat calon kantorku berada begitu selesai sarapan tadi. Tapi, aku benar-benar tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi dirumah dengan semua keluh kesah papa tentangku. Hari ini hari baru dan apapun yang terjadi, hari ini harus berjalan lancar.

Aku menangkupkan kedua tanganku, berdoa, tepat sebelum supir taksi menghentikan laju kendaraan di depan gedung tujuanku. Aku berharap segala sesuatunya berjalan baik.

Begitu taksi berhenti, aku tidak punya pilihan lain selain masuk kedalam gedung yang masih sepi dan duduk di lobi seperti orang bodoh dengan wajah bingung. Kursi panjang yang kududuki cukup untuk tiga orang, namun kursi ini masih kosong dan tetap kosong bahkan ketika jam mulai menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh menit. Tidak ada satupun orang yang duduk disebelahku. Semua orang terlihat sibuk memasuki gedung dan langsung menuju lift disamping kananku. Ada dua lift yang bergantian terbuka mengantarkan orang-orang ke lantai tempat kerja mereka.

Mataku bergantian mengamati orang-orang yang berlalu lalang, kembali ke handphoneku, fokus pada game di tanganku, lalu kembali memandangi orang-orang yang berlalu lalang lagi. Begitu terus sejak awal aku duduk di kursi ini.

Suasana di gedung ini terasa asing bagiku. Mungkin bagi dua orang satpam yang sedari tadi memandangiku juga. Kehadiranku disini, yang sudah duduk sejam lebih tanpa melakukan apa-apa ini pun pasti terasa asing bagi mereka.

Mereka beberapa kali memperhatikanku. Salah satu dari mereka berdiri diambang pintu, membukakan pintu untuk orang-orang yang berdatangan, sedang yang satunya duduk di meja resepsionis. Saat mataku bertemu pandang dengan salah satunya, aku berpura-pura tidak menyadari pandangan mereka dan mencoba fokus pada ponselku.

Rasanya lucu bisa berada di tempat ini. Mungkin akan terasa mencekam bagi sebagian orang yang akan menjalani wawancara ketika menginjakan kaki di gedung tujuan mereka, namun pagi itu aku merasa sangat tenang seolah aku sudah pernah melakukan hal ini ribuan kali. Bahkan wawancara yang sudah menungguku sama sekali tidak mengusikku.

Aku mencoba membuat diriku cemas, memaksakan diri membayangkan hal-hal yang menakutkan perihal wawancara kerja, seperti yang diceritakan beberapa temanku yang sudah pernah mengalaminya, namun nihil. Aku tetap tenang dan malah kebosanan karena menunggu.

Aku melirik jam tanganku lagi. Merasa bodoh karena memakai jam tangan padahal aku bisa melihat waktu secara akurat di jam ponselku. Jam di tanganku menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh tujuh sementara jam ponselku menunjukan pukul delapan lewat tiga puluh sembilan. Beda dua menit.

Aku mengembuskan napas. Memutuskan akan masuk lift dan menuju lantai sembilan tepat pada pukul delapan lewat empat puluh lima versi ponselku.

Saat jam di ponselku menunjukan pukul delapan lewat empat puluh tepat, mataku beralih memandang sebuah mobil hitam yang berhenti tepat didepan pintu masuk gedung. Satpam yang tadi berdiri dipintu, berjalan menuju mobil itu untuk membukakan pintu penumpang mobil. Seorang pria bule yang kutebak berusia tiga puluhan keluar dari dalamnya dan tersenyum serta menyapa ramah satpam tersebut. Seorang laki-laki yang juga bule namun lebih muda, yang memakai kemeja kuning cerah dengan tas hitam ditangannya, keluar dari pintu depan mobil. Sedangkan dua orang pria Indonesia turun dari pintu di belakang pengemudi.

Aku memperhatikan mereka sampai mereka masuk kedalam gedung dan berdiri disamping kananku menghadap lift. Mataku terus memperhatikan mereka dengan takjub. Aku membayangkan diriku suatu saat berada diposisi mereka. Menjadi atasan di sebuah perusahaan dan mendapat perlakuan seperti itu. Aku berdecak kagum pada diriku sendiri, tapi kemudian tersadar bahwa aku tidak akan tahan bersusah payah dan berlama-lama terkukung di dalam ruangan setiap harinya demi mendapatkan posisi seperti mereka. Itu bukan hidupku.

Pintu lift didepan mereka baru saja tertutup ketika mereka sampai didepan lift, jadi mereka menunggu beberapa saat disana. Mataku memperhatikan dua orang Indonesia yang sedang berbincag-bincang dengan pria bule yang pertama kulihat tadi. Sementara itu, pria bule berbaju kuning sibuk dengan ponselnya. Dia satu-satunya pria termuda di sana. Aku memperhatikannya. Wajahnya tampan, seperti Adam Levine, namun tanpa brewoknya. Bibirnya tipis dan hidungnya mancung. Matanya yang hitam pekat kontras dengan rambut pirang kecokelatannya.

Tiba-tiba pria itu menatap ke arahku saat aku sedang memperhatikannya, membuatku gelagapan dan berpura-pura mengecek sesuatu di ponsel yang masih kupegang ditangan kananku. Karena merasa masih diperhatikan, aku melirik lagi kearah pria itu. Dia masih menatapku. Aku bisa merasakan wajahku memerah saat mendapati pria itu memandang ke arahku. Aku membuang muka lagi, lalu kembali menatapnya lagi.

Pria bule itu masih menatapku. Kali ini wajahku benar-benar memerah. Aku jadi ingat, pagi tadi aku berdandan. Memakai BB cream dan bedak, juga lipstik merah muda tipis di bibirku. Aku jadi merasa ragu apakah ada yang salah di wajahku karena biasaya aku hanya memakai riasan saat pergi ke acara penting. Namun pagi ini aku menganggap bahwa ini adalah permulaan baru. Aku harus tampil beda dan fresh. Bukankah wanita kantoran berdandan?

Si pria bule berbaju kuning itu masih menatapku. Aku mengedip-ngedipkan mata membalas tatapannya, mencoba tetap tenang. Ting. Suara pintu lift terbuka dan tepat pada saat lift didepan mereka terbuka, aku melihat senyum pria itu mengambang. Dia tersenyum padaku dan dengan gerakan pelan tangannya menunjuk lift. Mataku kembali memandangi senyumnya ketika dia mulai melangkah. Ada lesung pipi yang membuat senyumnya begitu mempesona. Mataku tak bisa berhenti memandangnya sampai dia menghilang didalam lift, namun sebelum benar-benar masuk ke dalam lift pria itu sempat berhenti sebentar dan mengedipkan kedua matanya pelan, membuat bulu matanya yang lentik melambai, menghentikan detak jantungku, lalu kemudian dia tersenyum kembali padaku dan menghilang dibalik lift.

Aku merasakan jantungku seolah meledak saat menyadari semua kejadian barusan. Pagi ini, di hari pertamaku wawancara kerja, seorang pria bule ganteng tersenyum manis padaku seperti malaikat. Tuhan, semoga aku bisa melihat senyum itu lagi. Sungguh, aku pernah berharap hal seperti ini bisa terjadi dihidupku. Adegan romantis seperti yang sering kulihat di tv. Segalanya berjalan cepat namun terasa lambat. Benar-benar indah seperti dalam drama, namun hal ini seribu kali lipat lebih indah karena ini nyata.

***

Segala sesuatunya berjalan lancar pagi itu. Wawancaraku sangat memuaskan.

Begitu memasuki ruangan di lantai sembilan, aku langsung berharap bahwa pria bule tadi ada di kantor yang ku tuju, tapi sayangnya aku tidak melihat tanda-tandanya. Jadi begitu selesai interview aku langsung menghambur keluar ruangan dan menuju ruang resepsionis. Disana sahabatku sudah menunggu.

Rina dan aku berpelukan begitu kami melihat satu sama lain, seolah sudah ribuan tahun terpisahkan. Kami langsung bercerita dari a ke z lalu kembali ke a hanya dalam sepuluh menit. Rina menanyaiku bagaimana wawancaraku dan dengan bangga aku mengatakan padanya bahwa aku diterima.

"Benar kan, kamu pasti diterima. Kamu kan cerdas. Wajar kalo kemana aja kamu bisa." Rina sumringah.

"Semoga bisa. Aku sama sekali ga ada basic bisnis." Kataku ragu.

"Pasti bisa dong. Gampang kok." Rina menyikut lenganku. "Yaudah, aku balik kerja dulu ya. Ntar bosa marah."

"Oke." Aku memeluknya sekali lagi. "Ntar malam aku telpon kamu ya. Mau nanyain kerjaan." Aku meringis dan Rina tertawa kecil.

"Oke." Katanya sambil berjalan mundur dan menghilang ke dalam sebuah pintu. Lalu, aku pun melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu. Meninggalkan gedung itu dengan perasaan bahagia.

Paper HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang