6. Sia-sia

35 5 0
                                    

Aku, papa dan Kevin duduk di meja makan menyantap sarapan yang dimasak Kevin. Pagi ini Kevin memasak nasi goreng dengan potongan daging ayam dan wortel. Membayangkan mereka duduk berdua di meja makan selama aku tidak disini membuatku sedih. Tapi, berada disini saat ini jauh membuatku lebih sedih. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku tidak ada. Tapi, yang jelas hal itu membawa perubahan besar pada Kevin dan papa. Mereka tak lagi bicara sebanyak dulu dan keberadaanku disini bukannya mencairkan suasana. Aku malah ikut membisu.

"Boleh aku numpang mobilmu, Kak?" aku membuka mulut. Tidak tahan pada kebisuan ini lebih lama lagi.

Kevin mendongak dari piringnya. "Apa?"

"Aku mau nebeng. Boleh?" Kevin mengerutkan keningnya. Oke, aku tahu aku terlalu canggung. Bertanya lebih dulu pada Kevin seperti itu jelas membuatnya bingung. Aku bisa saja langsung memaksanya mengantarku seperti yang sering kulakukan, tapi pagi ini melihat raut wajahnya yang keruh membuatku tidak bisa bersikap biasa saja. Kevin hanya mengangkat bahu, kemudian berdiri dari meja makan dan membawa piring kotornya untuk dicuci. Pandanganku mengikutinya.

"Kevin mendapat beasiswa short course di Kanada." Papa menjelaskan. Membuatku tersedak. Kevin tidak menceritakan apa-apa padaku.

"Lalu?" Aku langsung bersemangat. Mataku berbinar-binar. Kubayangkan aku yang berada diposisinya. Jelas sekali aku akan sangat bahagia dan tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan itu. Tapi, Kevin sepertinya tidak bahagia. Senyum diwajahku langsung hilang.

Kevin tidak menyahut. Setelah meletakkan piring yang sudah bersih di rak, dia mengelap tangannya di serbet yang menggantung di sisi kanan bak cuci piring. Dari belakang, tubuhnya yang kekar terlihat lunglai. Aku bisa mendengar dia membuang napas sebelum berbalik dan tersenyum.

"Aku masih belum memikirkan akan bagaimana." Dia menjawab seolah hal itu memang benar adanya, tapi aku tau Kevin sedang berbohong. Dia sangat memikirkan hal itu. Aku bisa melihatnya dari tatapan matanya yang langsung ia alihkan ke kunci mobil dimeja. Ia merenggut kunci itu kedalam genggamannya dan tanpa menatapku ia berpamitan pada papa. "Kalau dalam tiga puluh detik kamu belum selesai makan, kamu naik busway aja." Kevin mengancamku.

Aku buru-buru menghabiskan nasi gorengku. "Dua menit." Kataku dengan mulut penuh sambil mengangkat tangan pada Kevin. Dia berjalan santai tanpa mengiyakan, menuju mobil. Aku bisa mendengar suara mesin mobilnya menyala. Aku membutuhkan lebih dari dua menit untuk dapat menghabiskan nasi gorengku, namun Kevin masih menungguku. Sementara itu papa sudah pamit lebih dulu dan mengatakan harus ke luar kota pagi itu. Jadi dalam tiga hari dia tidak akan pulang.

Begitu selesai makan aku langsung masuk ke mobil dan Kevin langsung membawaku kejalanan kota Jakarta yang macet.

Hari ini hari Kamis. Kevin biasanya menghabiskan hari kamis di rumah sakit. Dia baru akan pulang jam delapan malam lalu langsung duduk didepan laptopnya, membuat laporan tentang kegiatan dan penemuannya selama sehari bekerja. Kevin adalah orang yang tekun. Dari dulu ia selalu membuat jadwalnya seteratur mungkin. Bahkan, Kevin jarang bermain dan lebih suka menghabiskan waktunya didepan buku. Seperti ibu.

"Kenapa kakak ga ambil beasiswa itu?" tanyaku setelah kami berada ditengah-tengah lautan kendaraan dan terjebak macet. Kevin yang tadi bersandar di kursinya menegakkan posisi duduknya lebih condong ke kemudi mobil. Tanganya mencengkram kuat kedua sisi kemudi. Aku tau dia terkejut mendengar pertanyaanku yang memang benar adanya. Aku yakin Kevin tidak mengambil kesempatan ini dan hal inilah yang membuat ia murung pagi ini. Aku juga tau hal ini pasti memancing emosi papa yang menambah daftar alasan kenapa wajah Kevin murung pagi ini.

"Aku bisa belajar di Indonesia. Untuk apa jauh-jauh. Professor luar negeri juga banyak mengajar di kampusku. Bahkan di kampus aku juga dapat beasiswa." Kevin memberikan jawaban masuk akal, tapi aku tetap tidak puas.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Kenapa apa?" mata Kevin berkedip-kedip. Kemudian beralih ke jalanan dan menyetir mobilnya pelan mengikuti arus.

"Kanada loh, kak." Mataku berbinar penuh semangat. Hatiku menggebu-gebu. Membayangkan Kevin berada di Kanada saja membuatku bahagia. Apalagi jika aku yang disana. "Ada salju, ada banyak petualangan seru dan tempat-tempat yang keren menunggu. Bayangkan kalau kakak disana, siapa tau papa ngijinin aku ngunjungin kakak disana. Perfect!" aku tersenyum senang. "Disana banyak perpustakaan keren. Banyak buku." Aku melanjutkan, mencoba menggoda Kevin dengan menyebutkan hal-hal yang mungkin menarik minatnya.

"Hei, Dora." Kevin melirikku. Kevin sering memanggilku Dora karena aku begitu suka petualangan dan selalu terlihat ceria seperti Dora setiap kali membicarakan petualangan yang sering kubayangkan dikepalaku. "Itu mau kuliah apa jalan-jalan? Kalo berpetualang ke hutan-hutan Indonesia aja kan bisa. Indonesia juga punya banyak tempat buat berpetualang."

"Tapi kan beda." Sanggahku.

"Beda apa? Dimana-mana sama saja."

Aku kesal mendengar jawaban Kevin yang menyepelekan kesempatan emas ini.

"Siapa tahu ketemu jodoh." Aku berseloroh. Usia Kevin sudah cukup matang untuk mencari jodoh, tapi sepertinya dia belum menunjukkan minat sama sekali dalam hal satu ini. "Ingat umur kak...banyak bu..." belum sempat aku melanjutkan perkataanku, Kevin sudah memotong perkataanku.

"Sekali lagi ngomong, aku turunin dari mobilku." Kevin mendelik kesal. Aku terkikik.    






Hai temans,

sesuai janji saya akan posting chapter baru setelah mencapai 100 reads. Tepuk tangan buat kita yang sudah membaca cerita ini :D terimakasih semuanyaa...

sejauh ini gimana cerita ini menurut kalian?

hehehew...

pokoknya terimakasih deh buat waktunya membaca cerita ini, mungkin ada yang menyempatkan membaca di sela-sela jam kerja? ada tidak? terimakasih, yaaa. Ha ha ha.

jangan lupa klik bintang dan share yaaa... mari wujudkan mimpi author supaya buku ini di publish dan di baca sama yang bersangkutan :)

sekali lagi, terimakasih...

Paper HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang