Aku sedang menelpon salah satu nasabah pada suatu pagi ketika Samuel menghampiri mejaku lagi. Samuel sering datang dan berdiri disamping mejaku, benar-benar disampingku, untuk mengawasi kerja para karyawan. Memang Samuel tidak pernah sekalipun mengajakku berbicara, tapi dia sering tersenyum kepadaku yang kadang membuatku gemetaran tak menentu.
Selain senyumnya, Samuel memiliki mata yang indah. Pernah tanpa sengaja kami bertemu pandang dan matanya terlihat begitu hitam legam. Memancarkan sorot dingin penuh misteri yang membuatku ingin melihat jauh lebih dalam ke jiwanya. Namun di lain waktu, aku pernah melihat matanya berwarna kecokelatan dan hijau muda bening. Aku jadi membayangkan Samuel adalah tokoh fantasi yang sedang melakukan penyamaran karena warna matanya berubah-ubah.
Samuel itu laki-laki idaman hampir semua wanita di kantor. Selain sebagai bule yang mendongkrak statusnya di mata gadis pribumi, Samuel juga berwajah tampan. Didukung dengan postur tubuh ideal dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh senti meter dan kulit putihnya yang bersih. Apalagi posisinya di kantor adalah seorang bos.
Setiap kali ia berjalan memasuki kantor, semua orang pasti melihat ke arahnya. Dia memiliki daya tarik yang sulit diabaikan, dan keseringan laki-laki itu datang dan berdiri disamping mejaku jelas tidak bisa kuabaikan begitu saja juga. Aku jadi sering memperhatikannya.
Pernah sekali suatu pagi Samuel datang saat semua karyawan sedang briefing. Samuel lalu berdiri di ambang pintu dan bersandar menghadap ke arahku yang berdiri tidak lebih dari satu meter di depannya. Aku melirik ke arahnya dan dia tersenyum. Cepat-cepat aku membuang muka seolah tidak menyadari senyumannya. Kejadian itu membuat pipiku besemu merah sepanjang hari hanya karena memikirkannya, bahkan aku menggambar Samuel di buku sketsaku di sela-sela kerjaku hari itu.
Di lain hari, saat jam makan siang, aku, Rina dan Billa duduk di pantry seperti biasa sambil menyantap bekal makan siang. Kami bertiga selalu membawa bekal dari rumah masing-masing. Kami terlalu malas untuk membeli makan siang dan berjalan jauh sekitar dua ratusan meter.
Begitu selesai makan kami berbincang-bincang dan membicarakan banyak hal, termasuk Samuel. Lalu saat jam sudah menunjukan pukul dua belas lewat lima puluh menit, kami beranjak dari pantry menuju ruang kerja.
Rina, yang berbeda kelompok kerja denganku dan Billa, langsung berbelok ke mejanya begitu sampai deretannya. Aku dan Billa melanjutkan langkah kami menuju lorong sempit yang hanya bisa diisi dua orang. Billa berjalan disebelah kananku.
Saat kami tiba ditengah lorong menuju meja, Samuel muncul dari balik pintu dan berjalan ke arah kami. Dia berjalan didepan Billa.
Billa langsung menyikutku. "Suami kita." Katanya pelan. Kami sering mendengar orang-orang kantor, terutama wanita muda menyebut Samuel sebagai pacar mereka, suami mereka, bahkan selingkuhan mereka. Aku dan Billa jadi ikut-ikutan.
Begitu Samuel semakin dekat, aku dan Billa tersenyum pada Samuel yang sudah lebih dulu tersenyum pada kami. Tiba-tiba, Samuel yang berjalan didepan Billa, melebarkan kakiknya kekanan dan kini ia berjalan tepat ke arahku, di depanku. Aku berhenti di tempat saat Samuel tiba didepanku. Aku langsung tersenyum kikuk pada Billa, yang juga ikut menghentikan langkahnya.
Samuel menatapku sesaat lalu tersenyum dan bergeser ke depan Billa, memberiku jalan. "Sorry." Katanya padaku dengan senyum mengambang di wajahnya. Aku terheran-heran melihat tingkahnya, namun tidak tau harus mengatakan apa. Jadi, aku hanya balas tersenyum dan melangkah pergi. Sementara Billa yang jalannya terhalangi oleh Samuel langsung bergeser dan menyusulku di belakang.
Begitu sampai di mejaku, aku tertawa sendiri memikirkan kejadian barusan. Ternyata pria bule juga bisa aneh.
Billa memandangiku dari mejanya. Aku menunjukan ponselku dan mengisyaratkan Billa untuk membaca pesanku. Aku mengetik, "Lucu ya. Dia bilang sorry padahal ga ada ngapa-ngapain. Masa bos bilang sorry ke bawahannya?"
Sesaat kemudian Billa membalas, "Makanya jangan jadi cantik. Biasa-biasa aja."
"What?"
Billa tidak membalas dan hanya membaca pesanku. Terlihat dari tanda centang dua berwarna biru di ujung pesanku. Aku menggelengkan kepala.
Bagi Billa dan Rina, aku adalah gadis yang cantik di kantor itu. Tapi, aku tidak pernah merasa diriku cantik. Sungguh. Namun, mereka mengatakan kalau hal itu benar adanya, terbukti dari pendapat orang-orang dan perlakuan orang padaku yang mereka saksikan secara langsung.
Sejujurnya hal itu membuatku tidak nyaman. Aku tidak ingin dibandingkan dalam hal kecantikan. Apalagi mendapat pujian untuk hal yang tidak ku raih dengan susah payah. Aku lebih senang dipuji untuk hasil usahaku daripada untuk sesuatu yang sudah melekat di diriku sejak lahir.
Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi lagi. Ada sebuah pesan dari Rina.
"Samuel berdiri di belakang kamu." Tulisannya.
Aku membeku ketika pesan Rina berhasil kucerna. Rasanya bulu kudukku merinding. Kepalaku terasa berat untuk menoleh kebelakang, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk melihat. Begitu berhasil menoleh, aku membuka mulut lebar dengan ekspresi kesal. Samuel memang berdiri dibelakangku, tapi jaraknya sejauh lima meja dibelakangku.
"Aku kira pas dibelakang banget." Aku membalas dan Rina segera membalas dengan sebuah emoticon 'titik dua D'. Aku tidak lagi membalasnya dan meletakkan ponselku di meja.
Aku dan Rina punya rahasia kecil yang tidak diketahui Billa. Pada Rina aku menceritakan semua perasaanku tentang Samuel yang mulai kuperhatikan. Aku bahkan menceritakan pada Rina tentang Samuel yang tersenyum di depan lift ketika hari interviewku. Aku mengatakan pada Rina kalau aku merasakan sesuatu yang berbeda pada Samuel. Bukan cinta, karena aku tidak bisa jatuh cinta begitu saja dengan laki-laki. Tapi, ini sesuatu yang berbeda. Aku menyebutnya 'something only I know."
Rina pernah mencibirku dan mengatai kalau aku terlalu kepedean, tapi seiring berjalannya waktu, dan setelah melihat sendiri tingkah Samuel yang beda tiap kali didekatku, Rina jadi mengakui sendiri kalau sepertinya Samuel memang ada sesuatu juga terhadapku.
Pengakuan Rina itu membuat perasaanku melambung tinggi. Membayangkan Samuel menyukaiku seperti membayangkan Eiffel pindah ke Jakarta. Impossible. Tapi aku senang mendengarnya.
Aku pernah membaca satu kutipan tentang takdir yang mengatakan kalau hanya ada dua alasan mengapa kita dipertemukan dengan seseorang yang asing. Alasan pertama adalah seseorang itu datang dan kemudian pergi untuk memberi pelajaran berharga dalam hidup kita, sedangkan alasan kedua adalah karena orang tersebut datang untuk menetap dihidup kita sebagai suatu berkah.
Sejak awal melihat Samuel, aku yakin bahwa dia akan memberi banyak pelajaran dalam hidupku, tapi aku juga yakin Samuel akan menjadi berkah meski ia pergi sekalipun. Aku tidak tau kenapa bisa berpikir seperti itu, tapi itulah kenyataannya. Aku hanya tahu hatiku yakin akan hal itu dan yang bisa ku lakukan hanyalah mempercayainya.
.
.
.
Oke Temans...
cukup sampai disini dulu publish ceritanya yaaa...
kalau sudah capai target lagi bakal di posting tiga chapter baru sekaligus!!!
oleh karena itu... mari ajak kakek, nenek, om, tante, ayah, ibu, kakak, abang, adek, teman-teman, pacar, mantan, gebetan, pacarnya mantan, dan lainnya untuk baca cerita ini supaya sampai 500 reads ya...
Terimakasih. salam dari Sam...
love, author amatiran...
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Hearts
RomanceAku dan kamu, sama. Masing-masing dari kita punya mimpi. Mungkin impianku dan impianmu berbeda, namun satu yang pasti, aku dan kamu tentu ingin impian itu menjadi nyata. Ibuku pernah berkata bahwa untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu tidaklah mudah, nam...