"Darling...
Is that you that shine so bright?
Or is that something inside you that
Blinds my eyes?"
Aku menuliskan kata-kata itu di sketch book-ku. Aku punya hobi aneh. Aku suka membuat puisi tanpa judul atau menggambar apapun untuk mencurahkan perasaanku. Puisi singkat, begitu aku menyebutnya. Mungkin tidak pantas disebut puisi, lebih tepat jika disebut coretan. Ya... aku suka menuliskan apa yang kurasa, tapi bukan dalam bentuk diary karna tidak setiap hari. Bukan juga journal karna tidak panjang. Biasanya aku menulis apa yang kurasa dalam bentuk kata-kata singkat dan sesekali disertai gambar-gambar abstrak.
Saat menuliskan hal itu, aku membayangkan wajah pria bule yang tersenyum padaku beberapa hari lalu. Rasanya aneh. Aku pernah melihat jutaan laki-laki dalam hidupku, tapi tidak pernah semenarik dia. Bahkan hanya melihat senyuman saja sudah membuatku tidak bisa lupa padanya. Aneh. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri.
Aku mengambil sebuah pensil 2B dan mulai menggoreskannya diatas kertas kosong sketchbook, tepat disamping puisi yang baru kutulis. Aku memejamkan mata sesaat, membayangkan senyum pria itu. Segala sesuatunya masih jelas dan hangat dalam ingatanku, tapi melukiskan keindahan senyumnya diatas kertas membuatku frustasi. Aku tidak pernah puas dengan hasil gambaranku dan berulang kali menghapus dan menggambar ulang sampai kertas putih itu menjadi kusam dan berubah warna. Akhirnya, aku hanya menuliskan kata 'smile' disana lalu memejamkan mataku dan tersenyum. Besok aku akan menginjakan kaki di gedung itu lagi. Ku harap kejadian seperti itu akan terulang kembali.
***
Pagi itu di hari Senin yang cerah aku bangun lebih cepat. Bahkan sebelum alarmku berbunyi. Aku begitu bersemangat. Aku langsung memasak sarapan dan bekal untuk makan siang Kevin, juga makan siangku. Aku sempat bingung untuk membawa makan siang atau tidak, tapi kuputuskan untuk membawa saja.
Sejak ditinggal ibuku, aku dan Kevin belajar memasak sendiri. Kami berdua mahir memasak. Saat aku masih kecil, Kevin yang bertugas menyiapkan bekalku. Sejak kecil Kevin dan aku telah di didik ibu untuk membawa bekal makanan setiap hari. Ibuku selalu memastikan Kevin dan aku membawa bekal ke sekolah meskipun kadang aku menukar bekalku dengan makanan kantin yang di beli temanku. Hal yang kini sering kusesali, karena setelah ibu tiada aku sering merindukan masakannya.
Pagi itu papa juga sudah siap dengan pakaian kerjanya dan bangga melihatku memakai pakaian kerjaku, yang sejatinya hanya kemeja biasa. Dia sangat berharap aku akan betah dengan posisi pekerjaanku dan kehilangan selera pada mimpi untuk menantang dunia, meski sesekali ia menyindirku karena menyerah pada mimpiku.
Papa kadang-kadang begitu plin plan. Sesuatu yang ia rasa benar, yang kemudian kuturuti dan kulakukan, malah justru bisa berubah menjadi salah dimatanya. Aku merasa aku selalu salah dimatanya.
Saat aku mengatakan padanya bahwa aku diterima bekerja diperusahaan itu, papa memang terlihat senang, namun aku juga bisa melihat sedikit kekecewaan dimatanya. Mungkin papa kecewa aku lebih memilih perusahaan lain ketimbang bekerja diperusahaan keluarga yang dia rasa lebih aman bagiku, yang justru selalu kuhindari. Entahlah. Aku hanya tidak ingin bergantung pada siapapun dan aku hanya ingin membuktikan aku mampu tanpa bantuannnya.
Hari itu papa juga langsung menawari beberapa perusahaan yang ia rasa mungkin bisa menerimaku kalau aku mulai bosan di kantor itu. Aku sampai menelengkan kepala heran saat papa mengatakan kata bosan. Kalau ia sudah tau bakal ada kemungkinan untukku merasa bosan di kantor itu, kenapa aku malah ditawari sederet pekerjaan serupa? Namun seperti biasa, aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya mengiyakan.
Jauh didalam hatiku mimpiku masih sama. Menjelajahi dunia dan menulis, atau mungkin mengambil S2 di luar negeri dan mempelajari hal-hal baru. Atau kemanapun hanya sendiri, tanpa pengawasan papa dan Kevin. Aku hanya ingin pergi jauh dan mendapat petualangan baru untuk kutulis. Aku ingin merasakan kehidupan tanpa batas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Hearts
RomanceAku dan kamu, sama. Masing-masing dari kita punya mimpi. Mungkin impianku dan impianmu berbeda, namun satu yang pasti, aku dan kamu tentu ingin impian itu menjadi nyata. Ibuku pernah berkata bahwa untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu tidaklah mudah, nam...