2. Tidak akan pernah sama

76 5 0
                                    

Kevin adalah satu-satunya saudaraku. Ibuku dan papaku adalah sepasang suami istri yang harmonis, tapi itu dulu. Dulu sekali saat aku masih kecil. Setelah aku lahir entah kenapa segala sesuatunya jadi berbeda.

Aku sering mendengar cerita-cerita Kevin tentang ibu dan papa yang dulu sangat bahagia. Namun semakin aku tumbuh dewasa, mereka jadi semakin sering berkelahi dan berdebat. Tidak jarang aku dan Kevin menyaksikan langsung perkelahian mereka sampai aku sering menangis dalam pelukan Kevin saat menyaksikan hal itu.

Pernah sekali saat usiaku sepuluh tahun, papa tidak pulang selama berhari-hari. Suatu malam setelah aku terlelap, ibu tiba-tiba membangunkanku dan menuntunku masuk ke dalam mobil. Saat itu hanya aku dan ibu dirumah, Kevin sedang liburan di rumah nenek di Bandung. Ibuku mendudukkanku di kursi penumpang sementara ia membawaku ke suatu tempat yang tidak aku tahu. Ibu menghentikan mobil di depan sebuah rumah. Aku ingat malam itu ibuku hanya memandang kosong kedepan tanpa suara, tapi matanya berair. Setelah itu ibu dan papa tidak pernah berkelahi lagi. Tidak pernah sekalipun sampai pada suatu siang ketika aku hampir berusia sebelas dan Kevin delapan belas tahun, mereka mengatakan bahwa mereka akan bercerai.

Aku sama sekali tidak tau apa definisi bercerai karena dengan atau tanpa status perceraian, ibu dan papa memang jarang ada di rumah dalam waktu bersamaan. Mereka berdua sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ibuku seorang guru dan mengurus toko kue kecil yang membuatnya sering pulang malam, sementara papa seorang pebisnis yang sering menghabiskan waktu di luar kota. Jadi, saat mereka mengatakan mereka akan bercerai dan pisah rumah, aku merasa tidak ada yang berbeda. Kecuali untuk Kevin.

Kevin yang kutau sudah sejak lahir menjadi kebanggaan papa dan dekat dengan papa jadi seperti kehilangan arah saat papa semakin jarang mengunjungi kami. Papa menetap di Jakarta, tapi dirumah yang berbeda dengan kami. Tak lama setelah perceraian itu, ibu meninggal karena sakit. Setelahnya, aku dan Kevin tinggal dengan papa.

Saat itu Kevin sudah duduk di bangku kuliah. Aku berniat melanjutkan pendidikan kuliahku di Jakarta juga seperti Kevin, namun aku gagal masuk universitas di Jakarta dan di terima di Universitas Sumatera Utara di kota Medan, di pilihan ketigaku. Universitas itu merupakan tempat ibuku berkuliah dulu karena ibu memang berasal dari kota itu. Jadi setelah SMA aku pindah kesana dan tinggal dengan keluarga ibuku, sementara Kevin tetap di Jakarta dengan papa.

Selama tinggal dengan papa, aku dan Kevin lebih sering ditinggal dan diasuh nenek kami. Pekerjaan papa membuatnya sering meninggalkan kami, tapi setiap kali pulang papa selalu menyempatkan diri untuk menanyakan semua hal yang terjadi padaku dan Kevin selama dia pergi, terutama tentang pendidikanku.

Papa sangat ingin aku menjadi guru seperti mama atau menjadi pekerja kantoran sepertinya dan bekerja di perusahaan milik keluarga. "Yang penting kerja di kantor. Apalagi milik keluarga besar kita, tidak perlu susah-susah test. Tinggal kerja. Atau jadi guru, Cuma ngajar sebentar, sudah. Tidak capek." Begitu papa selalu mengimingiku. Namun, aku tidak menginginkan keduanya dan hal itu membuat papa marah.

Sejujurnya aku tidak pernah ingin melihat papa marah. Apapun alasannya. Jadi, saat mendaftar perguruan tinggi, aku memilih jurusuan ekonomi di pilihan pertamaku saat ujian masuk universitas, lalu jurusan administrasi bisnis di pilihan kedua, semuanya sesuai keinginan papa. Namun, dipilihan ketigaku aku mengambil ilmu komunikasi dan mengesampingkan llmu pendidikan yang dijadikan cadangan terakhir dalam daftar pendidikanku oleh papa. Hal ini jelas membuatnya tidak puas, namun akhirnya ia mengijinkan, itupun setelah aku menangis seharian dan mengancam tidak akan kuliah. Itu pertama kalinya aku menentukan sendiri pilihanku.

Papa mulai menentukan semua hal untuk hidupku sejak aku lahir ke dunia ini. Papa memperlakukanku layaknya aku tidak bisa menentukan sendiri yang terbaik untukku. Papa mengharuskan kesempurnaan di diriku. Dia memberi batasan dalam ruang gerakku, namun memberikan kebebasan padaku untuk memilih sesuatu yang telah ia pilihkan untukku. Sangat berbeda dengan caranya mendidik Kevin.

Kevin tidak pernah dituntut melakukan ini itu seperti aku. Kevin juga diberikan kebebasan penuh untuk memilih dan melakukan semua hal yang disukainya. Benar-benar bertolak belakang denganku.

Aku ingat saat aku mengatakan bahwa aku gagal masuk Universitas Indonesia dan berhasil masuk ke Universitas Sumatera Utara, papa tidak senang. Meski universitas itu merupakan salah satu yang terbaik di ndonesia, papa tetap tidak peduli dan mengataiku tidak serius belajar. Dia juga mengeluhkan bahwa aku sengaja menggagalkan ujianku untuk masuk ke universitas Indonesia di dua pilihan pertamaku hanya agar aku bisa membebaskan diri darinya. Tidak seperti Kevin yang selalu bisa memenuhi keinginannya.

Aku tidak tau sejak kapan papa berubah, yang pasti dia berubah. Papa mulai membanding-bandingkan aku dengan Kevin. Sejujurnya bisa kukatakan aku termasuk anak yang cerdas, namun hanya dalam beberapa bidang mata pelajaran. Tidak seperti Kevin yang cerdasnya merata. Aku unggul dalam bidang pelajaran bahasa dan seni, bidang yang kusukai. Namun, dalam bidang eksakta aku biasa-biasa saja.

Saat aku mengatakan pada papa aku diterima dijurusan ilmu komunikasi, papa sama sekali tidak bangga. Dia mengatakan akan jadi apa aku kelak saat aku mengutarakan cita-citaku menjadi seorang jurnalis dan penulis. Papa sangat mengharapkan aku bisa bekerja di bidang yang memakai 'otak', seperti bekerja di perusahaan atau bank-bank besar seperti yang ia lakukan atau setidaknya menjadi seperti mama dan Kevin. Pekerjaan yang membutuhkan sedikit mobilitas dengan alasan gender dan keamanan.

Dalam hal ini, aku yang biasanya penurut, tidak bisa mengiyakan permintaannya. Aku ingin menjalani hidupku layaknya orang normal. Tanpa batasan dan aturan. Aku tidak ingin hidup untuk mewujudkan mimpi orang lain sementara mimpiku kubiarkan mati. Namun sepertinya papa tidak mengerti, dan sejak saat itu aku sadar bahwa selamanya papa tidak akan pernah mendukung ku.

Paper HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang