Aku berlari secepat mungkin begitu turun dari Busway. Hanya ada lima menit tersisa sebelum jam delapan tepat. Pagi ini Jakarta macet total. Pembangunan jalan dimana-mana menyebabkan kemacetan tak terelakkan di beberapa titik, namun pagi ini yang terparah selama aku berada di Jakarta.
Begitu sampai dikantor aku langsung menaiki lift yang terbuka didepanku. Seorang cleaning service baru keluar dari dalam sana dan berbelok menuju pintu belakang. Aku langsung menyelipkan badan dan masuk kedalam lift kosong itu. Dinding cermin di dalam lift membuatku bisa dengan jelas melihat penampilanku yang kacau. Buru-buru aku merapikan rambutku yang acak-acakan dan menepuk-nepuk pipiku yang memerah. Aku menghembuskan napas saat melihat jam dan pintu lift terbuka.
Aku langsung menuju pintu kantorku dan menempelkan jariku di mesin absensi. Delapan tiga puluh tepat. Aku menghela lega. Namun, briefing baru saja dimulai dan aku tidak berani masuk kedalam ruangan kerja menuju mejaku yang hanya berjarak lima puluh senti dari tempatku berdiri. Mejaku berada tepat didepan pintu dan pintu ini ada disebelah kanan mejaku. Membuatku bisa melihat siapa saja yang memasuki ruangan itu. Jadi, aku hanya berdiri di ruang resepsionis sampai briefing selesai.
"Kamu diamana?"
Rina mengirimiku sebuah pesan melalui whatsapp. Aku segera membalasnya dan memberi tahu posisiku.
"Syukur deh. Ingat bos besar datang." Balasnya.
Aku membelalakkan mata melihat isi pesannya. Aku lupa kalau hari ini bos-bos besar akan datang atau mungkin sudah datang. Begitu briefing selesai aku langsung duduk dimejaku dan memberi senyum pada Billa yang berdiri disamping mejanya. Mejanya dua baris didepanku dan posisinya membelakangiku. Ia membalas senyumku lalu duduk. Sepertinya Billa memastikan apakah aku masih punya semangat untuk bekerja disini atau pergi mencari pekerjaan baru seperti yang selalu ia takutkan.
Baru lima menit aku duduk dan memasang headphoneku untuk melakukan panggilan, beberapa orang laki-laki masuk dari pintu di kananku. Aku langsung menoleh. Itu si pria bule berbadan tegap yang pertama turun dari mobil yang kulihat di hari wawancaraku, yang belakangan kutahu adalah CEO perusahaan. Disusul dua orang pria Indonesia yang kulihat di lift pagi itu, namun pria ke empat yang kulihat bukan si pria berbaju kuning. Melainkan pria bule gendut yang berwajah merah. Aku mengedip-ngedipkan mata saat melihatnya dan saat dia menatapku aku membuang muka, berpura-pura sibuk bekerja.
Selang lima menit kemudian, seorang pria bule berbadan tegap dengan jas hitam masuk kedalam ruangan sambil menarik koper besar. Dia tersenyum pada atasan kami, dan beberapa atasan kami serta pria-pria tadi menyalaminya. Aku mendengar salah seorang dari mereka mengatakan big boss. Dengan cepat aku menyimpulkan bahwa dia adalah si big boss dan mengatakan pada diriku bahwa kemungkinan si pria berbaju kuning tidak bekerja dikantor ini.
Aku kembali bekerja dan menekuni pekerjaanku. Aku mulai terbiasa mengetik cepat dan berbicara diwaktu yang bersamaan, mendengar keluh kesah nasabah dan berpikir untuk memberi solusi. Intinya aku menjalani sesuatu yang belum pernah kubayangkan sebelumnya dan semuanya berjalan baik-baik saja. Aku bersyukur.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh menit. Sebentar lagi waktunya istirahat. Aku sudah mulai keroncongan padahal aku sudah sarapan. Aku juga menguap.
Pekerjaan ini tidaklah sulit. Satu-satunya yang menantang dari pekerjaan ini bukanlah pekerjaannya, tapi keadaan yang memaksaku harus duduk hampir seharian di kantor. Aku harus melawan kebiasaanku yang tidak tahan duduk berlama-lama dan lebih memilih berkeliling seharian. Untungnya aku bisa bertahan.
Aku kembali fokus pada komputer didepanku dan menyibukkan diri lagi saat tiba-tiba seseorang berkemeja biru muda berdiri disamping kananku dan memperhatikan kami semua bekerja. Dia berdiri tepat disamping kananku dan berjarak hanya lima senti dariku. Aku mendongak. Tubuhku mendadak membeku. Itu si pria bule berbaju kuning. Kini dia berdiri disampingku dan tersenyum padaku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Hearts
RomanceAku dan kamu, sama. Masing-masing dari kita punya mimpi. Mungkin impianku dan impianmu berbeda, namun satu yang pasti, aku dan kamu tentu ingin impian itu menjadi nyata. Ibuku pernah berkata bahwa untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu tidaklah mudah, nam...