Bab 8

478 35 0
                                    

Sudah empat jam aku berada di sini. Di temani segelas cokelat panas dan satu buku karangan Victoria Aveyard seri ketiga yang paling kutunggu-tunggu. Kedai kopi sudah mulai terlihat sepi. Padahal saat aku datang empat jam lalu, masih banyak orang yang sekedar duduk meminum kopi. Di saat orang-orang tidak betah berlama-lama duduk di tempat seperti ini, aku lebih memilih menghabiskan waktuku di sini. Tepat pada tempat yang dulu aku dan Alby duduki. Namun bedanya, hari ini tidak ada lagi Alby. Hanya aku sendiri.

Ini sudah satu bulan setelah aku menyuruh Rani menemui Alby di tempat kerjanya. Mungkin memang takdir baik tidak berpihak padaku perihal cinta. Ada saja hal yang membuatku seperti ini. Saat Rani mengatakan kalau Alby tidak bekerja lagi untuk sementara waktu di sana, kakiku benar-benar terasa lemas.

Selama itu juga aku berusaha untuk melupakan Alby. Tidak ingin lagi membiarkan dirinya begitu saja terlintas dalam pikiran. Sudah saatnya aku beranjak dari hari-hari itu, saat Alby berusaha menyingkirkan kesedihan yang ada dalam diriku. Walau hari-hari itu sangat sebentar, namun aku bisa merasakan kebahagiaannya.

Aku mulai menyadari kalau di luar sedang hujan. Kaca jendela besar yang ada di sampingku mulai dibasahi oleh rintik-rintiknya. Beberapa orang terlihat berlalu-lalang dengan payungnya. Pandanganku kosong melihat keadaan luar yang mulai gelap. Sudah pukul delapan malam. Satu jam lagi kedai akan tutup, tapi di luar masih hujan dan aku sama sekali tidak membawa payung.

Sikutku menopang dagu di atas meja, masih melihat satu-dua orang yang berlalu lalang. Dan tiba-tiba saja ada seseorang yang berjalan di sana dengan payungnya, kemudian berhenti lalu menghadapku. Aku tertegun. Tidak mungkin. Mataku mengerjap beberapa kali. Berusaha menangkap dengan cepat apa yang aku lihat.

Alby?

Tidak Mungkin.

Mataku berhenti mengerjap.

Tidak salah lagi. Dia masih berdiri di sana menghadapku. Tangan kirinya memegang payung, dan tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku jaket abu-abu yang dikenakannya.

Seketika diriku mematung melihat dia yang mulai berjalan mendekat ke arah kaca jendela besar di sampingku. Tepat saat dia benar-benar ada di depan mataku dan hanya ada kaca besar sebagai pembatasnya.

Aku langsung meraih tas dan segera keluar menghampirinya di luar.

Benar. Itu Alby.

Hatiku rasanya ingin mengeluarkan semua kekesalan yang ada. Ingin sekali memarahinya karena sudah melanggar janji. Karena sudah menghilang begitu saja. Karena tidak mengajakku lagi ke tempat yang membuatku bahagia.

Namun lidahku kelu. Semua kata-kata yang sudah aku siapkan sedari lama dan akan aku luapkan padanya bila satu hari bertemu lagi, tiba-tiba hilang begitu saja. Aku hanya bisa menatap lurus matanya tanpa bicara apa-apa. Berusaha merasakan lagi kehangatan yang ada di sana.

Ternyata benar. Aku merindukannya.

"Maafkan aku sudah membuatmu menunggu." Alby menatapku lekat. Lalu mengelus rambutku. Mungkin dia tahu kalau aku benar-benar marah padanya.

Aku memilih menunduk, tidak mau menatap matanya. Rasanya aku lelah menyimpan kekhawatiran selama berbulan-bulan. Aku tidak tahu kemana Alby pergi, dan aku tidak tahu kenapa dia tidak lagi menghubungi.

Mataku mulai terasa basah. Berusaha dengan cepat menutupinya dengan telapak tangan. Namun Alby lebih dulu memelukku, membawaku ke dalam dekapannya.

***

"Kamu kemana aja selama ini?" Hanya pertanyaan itu yang bisa keluar dari mulutku saat aku meminta paksa Alby untuk mengajakku duduk di sebuah bangku samping lampu taman yang tidak jauh dari kedai. Hari memang sudah malam, tapi aku tidak bisa membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi pikiran. Begitu banyak yang ingin aku tanyakan sampai-sampai hanya pertanyaan itu yang bisa keluar.

"Sa, masih ada hari besok. Sekarang sudah malam. kita pulang, yuk?" Bujuk Alby dengan suara lembut.

Aku menggeleng. Yang benar saja? Bagaimana kalau besok dia menghilang lagi? Bagaimana kalau besok aku tidak bisa lagi bertemu dengannya?

"Tidak mau. Harus sekarang." Aku menatap matanya. Berusaha mencari jawaban atas semua rasa penasaranku. "Aku tidak bisa menunggu besok. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan."

"Pakai jaketku. Nanti kamu kedinginan." Alby melepas jaketnya, lalu memasangkannya padaku. "Silakan. aku akan jawab apapun yang membuat hatimu merasa tidak enak."

"Kemana saja kamu selama ini?" Aku mengulang pertanyaanku. "Kamu tahu darimana kalau aku ada di kedai?"

"Aku tidak pergi kemana-mana. Aku hanya pergi sebentar, menyelesaikan urusanku." Jawab Alby membalas tatapanku. "Aku tahu dari Rani."

Aku terdiam. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Begitu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan, tapi rasanya begitu banyak sampai-sampai tidak ada yang keluar satupun.

"Nisa," Panggil Alby sambil mengelus pelan rambutku. "Aku tidak benar-benar pergi. Aku selalu ada di dekatmu tanpa kamu tahu. Aku berjalan di belakangmu saat kamu pergi ke toko cokelat. Aku yang meminta Rani untuk selalu tahu keberadaanmu. Aku yang menaruh cokelat itu di saat hatimu sedang tidak baik."

Lagi-lagi aku terdiam. Suara ini rasanya sulit untuk keluar. Sekarang aku tahu kenapa Roni memilih jalan di belakangku saat aku keluar dari toko cokelat. Ternyata di belakangku ada Alby, dan aku tidak tahu itu.

Aku mengira Roni yang memberiku box cokelat itu, tapi nyatanya bukan. Dan aku juga mengira kalau ibu yang menyuruh Rani untuk selalu menjemputku, tapi lagi-lagi bukan.

"Tapi kenapa kamu gak pernah lagi menghubungiku? Kenapa kamu harus bersembunyi seperti ini? Kenapa, Al?"

Alby tampak diam dan menarik pelan tangannya yang daritadi mengelus rambutku. Tatapannya kali ini lebih serius dari sebelumnya.

"Ada beberapa hal yang belum kamu tahu tentang aku, Sa." Jawab Alby.

"Apa yang belum aku tahu?"

"Belum bisa aku beritahu sekarang."

"Memangnya ada apa?"

"Tidak ada apa-apa, nanti kalau sudah waktunya akan ku beritahu." Alby bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri menghadapku. "Sudah malam. Kita pulang, yuk?" Ujarnya. Lalu meraih tanganku.

Selama perjalanan mengantarku pulang ke rumah, aku memilih diam. Beberapa kali Alby menoleh ke arahku yang hanya menatap jalan dari kaca jendela mobil. Namun dia memilih untuk fokus menyetir. Mungkin dia tahu kalau aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Sampai di rumah rasanya mata ini sama sekali tidak bisa terpejam. Apa yang Alby sembunyikan dariku? Kenapa aku belum boleh tahu tentang itu? Apa dia tidak tahu sebesar apa kekhawatiranku selama ini saat dia tidak ada? Bodohnya selama ini aku mengira ada kesalahan yang kuperbuat dan membuatnya tidak mau lagi menemuiku.

Tapi aku sama sekali tidak bisa memungkiri kalau degup jantung itu benar-benar terasa. Saat dia memelukku. Saat dia tidak ingin membiarkanku kedinginan. Saat dia menggenggam tanganku.

Aku meraih ponsel yang ada di atas meja samping tempat tidur. Ada satu pesan masuk di sana.

Dari Alby.

Selamat Tidur, Sa. Jangan memikirkan apapun. Aku akan menjemputmu besok pagi. 

SenjakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang