Sinar matahari masuk menembus jendela, memberi kesilauan pada mata yang masih terpejam. Aku tahu, ketika hari minggu tiba, dan sama sekali tidak ada kegiatan apa-apa yang harus dilakukan, setiap orang pasti lebih memilih meringkuk di balik selimut. Tanganku terulur mengambil jam weker, meraba-raba meja yang persis ada di samping tempat tidurku. Namun.. tanganku seperti menyentuh sesuatu yang jelas-jelas itu bukan jam weker.
Tanganku seperti bersentuhan dengan lengan seseorang..
Ya tuhan, lengan siapa ini?
Tiba-tiba saja kantukku jadi tidak terasa lagi. Berganti dengan degup jantung yang membuatku reflek hampir loncat dari tempat tidur. Tapi aku berusaha tenang, dan membuka selimut, mengintip sedikit siapa orang yang ada di samping tempat tidurku ini.
"Alby??!"
Kudapati Alby sudah ada di hadapanku. Dia tersenyum melihatku yang masih membalut diri dengan selimut dan hanya mengintipnya dari dalam.
Untuk apa dia di sini? Kenapa juga tiba-tiba bisa ada di sini? Siapa yang mengijinkannya masuk? Atau jangan-jangan, ibu dan ayah sedang tidak ada di rumah?
"Selamat pagi, Sa." Sahut Alby memperlihatkan senyumnya. Entah dari kapan dia duduk di kursi yang ada di samping tempat tidurku ini, bersama cokelat panas yang sudah siap di atas meja.
Aku baru ingat. Semalam memang dia mengirim pesan akan menjemputku pagi hari. Tapi, ya tidak perlu sampai menjemput ke kamar juga, kan?
Aku benar-benar mengabaikan kehadirannya. Jangan sampai wajahku yang baru saja bangun tidur ini dilihat olehnya. Mataku tidak bisa terpejam beberapa detik melihatnya tersenyum seperti itu, hingga pada akhirnya aku memilih untuk membalikkan badan dan kembali meringkuk di dalam selimut.
"Kamu terlihat cantik saat bangun tidur." Puji Alby.
Aku tidak ingin membalas perkataannya. Semesta, tolong aku tidak bisa bernapas. Rasanya sesak dan mukaku terasa panas mendengarnya berbicara seperti itu.
"Masih ada waktu setengah jam untuk bersiap-siap. Aku tunggu di bawah ya, Sa."
Setengah jam? Yang benar saja? Setengah jam hanya cukup sampai aku selesai mandi. Menyebalkan.
Tidak lama kemudian terdengar suara pintu ditutup. Dapat disimpulkan kalau dia sudah pergi keluar. Aku langsung menyingkirkan selimut yang membuatku menjadi sulit bernapas. Entah penyebabnya adalah selimut, atau memang kehadiran Alby yang menyebabkan aku merasa seperti itu.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana bisa semuanya selesai dalam waktu setengah jam?
Aku langsung membongkar isi lemari. Baju apa yang harus kupakai hari ini? Rasanya semua baju sudah sering kupakai semua. Rasanya aku tidak punya baju lagi selain yang ada di lemari.
Beruntungnya masih ada satu setelan yang kurasa bisa digunakan hari ini untuk jalan dengan Alby. Langsung kuambil handuk dan bergegas mandi. Hanya butuh waktu 15 menit, lebih cepat dari biasanya. Aku tidak ingin membuat Alby menunggu lama. Itu sebabnya aku langsung menghampirinya di lantai bawah usai memoles wajah dan sedikit menyemprot parfum.
Baru hendak menuruni anak tangga, langkahku terhenti saat melihat dia sedang mengobrol dengan Abang di ruang tamu. Mereka berdua terlihat cukup akrab, dengan hitungan waktu yang kurasa cukup sebentar.
Dan pada saat itu juga aku menebak kalau Abanglah yang mengijinkan Alby untuk masuk ke kamarku. Obrolan mereka terhenti saat aku sudah sampai di bawah menuju ruang tamu. Alby tampak memandangiku cukup lama, dengan penampilanku terlihat jauh dari kata biasa. Sangat amat biasa, lebih tepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senjaku
Teen FictionUntuk perempuan yang sedang berusaha menyembuhkan hatinya dari masa lalu.