Bab 10

830 38 0
                                    

"Jadi lo nyembunyiin itu semua dari gue, Ran?" Aku berusaha menyusul Rani yang sudah lari beberapa meter di depanku. Pagi ini kami memang sengaja menyusun agenda lari pagi untuk membakar pikiran-pikiran jenuh setelah kemarin diserbu oleh tugas kuliah.

"Sa, liat itu ada cowok ganteng." Kata Rani tangannya menunjuk ke arah bangku taman.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, plis!"

"Iya, iya, gue sebenernya udah tahu kalau Alby gak kemana-mana. Jadi, gue biasa aja waktu lihat lo galau nya kayak orang gak dikasih makan seminggu."

"Jadi, selama ini lo gak pernah ajak gue lagi ke tempat kerjanya Alby karena takut gue tahu, gitu?"

Rani tidak menjawab dan hanya tersenyum lebar yang dipaksakan.

"Dan soal Alby yang lo bilang gak kerja disana untuk sementara waktu juga bohong?"

"Yaa, gitu deh." Rani langsung lari lebih cepat mendahuluiku.

"Tega lo ya!" Aku yang sudah tertinggal di belakang, balas mengejar Rani yang lebih dulu lari di depanku. Mungkin dia takut aku akan melampiaskan kekesalan padanya. Tapi sungguh benar-benar menyebalkan saat tahu mereka berdua sekongkol untuk berbuat seperti ini. Untuk apa tujuannya? Hanya membuatku jengkel mengingat beberapa bulan terakhir keadaanku benar-benar menyedihkan sekali.

Tapi memangnya sekarang sudah tidak menyedihkan lagi?

Tiba-tiba pertanyaan itu terlintas begitu saja. Membuat langkahku yang berusaha mengejar Rani menjadi terhenti perlahan. Udara segar pagi ini kuharap bisa memenuhi ruang-ruang kosong yang ada di hati. Mengisi tiap sudutnya sampai tidak ada yang tersisa, dan kembali keluar dengan membawa pulang lukanya yang tertinggal.

Di ujung sana, Rani sudah lebih dulu duduk di bangku taman, meluruskan kedua kakinya, lalu membungkukkan sedikit badannya. Ditepuk-tepukkannya handuk kecil pada setiap keringat yang mengucur. Sedangkan aku masih berdiri disini, menunggu udara yang masuk ke ruang-ruang kosong di hati ini bisa dengan cepat keluar membawa luka yang ada.

Menunggu jawaban apa yang tepat atas pertanyaanku barusan. Memangnya sekarang sudah tidak menyedihkan lagi?

"Nisa! Sini!" Dari kejauhan, Rani tampak melambaikan sebelah tangannya padaku. Menyuruh untuk cepat menghampirinya dibangku taman.

Aku meneguk sedikit air dari botol minum yang sedaritadi kugenggam, Lalu menyusulnya yang saat ini sedang bersandar di bangku taman memandangi hamparan rumput yang luas.

"Lo kayaknya gendutan, deh. Lari nya lama." Celetuk Rani saat aku baru saja ikut duduk bersandar di sebelahnya sambil menepuk-nepuk dahiku dengan handuk kecil.

"Gue mau lari aja, Ran." Ucapku dengan nada pelan, namun masih terdengar.

"Istirahat dulu kali, capek."

"Kalau gue lari, rasa sakit gue gak akan kerasa lagi."

"Maksud lo? Lari dari kenyataan?" Tanya nya dengan nada meledek.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Kenapa rasa sakit itu masih lo rasain? Apa hadirnya Alby sama sekali gak menyembuhkan itu semua?" Rani mengubah posisi duduknya jadi menghadapku. Sementara aku masih menatap ke depan, melihat hamparan rumput yang masih belum mengijinkan embun untuk pulang.

Aku lalu menunduk, menatap handuk kecil yang kini kugenggam dengan erat. "Gak semudah itu, Ran."

"Semuanya mudah, cuma lo aja yang mempersulit itu semua."

"Alby terlalu baik. Gue gak mau kalau aja suatu hari nanti gue buat hati dia sakit."

"Memangnya lo berniat buat nyakitin dia? Enggak kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SenjakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang