Chapter 8_Should'n be

55 10 2
                                    

Chapter delapan—Should not be

"Dia yang menyayangi adalah orang yang paling mengerti. Tak peduli kau membohongi atau bahkan melukai."
______________________________________________

Memang tidak ada hak untuk dia marah. Tidak ada hak untuk dia cemburu. Lagian dia siapa? Dia hanya pemuja gadis itu yang terlalu pengecut untuk mengungkapkan. Terlalu takut walau sekedar muncul ke permukaan. Terlalu bingung harus memulai dari mana 'tuk membuka kejujuran.

Dia hanya orang egois yang berharap; bahwa dialah yang bisa membuat gadis itu tersenyum. Membeku dengan keterpukauan, atau tertawa dengan leluconnya. Namun, sayangnya lagi-lagi dia tidak punya hak. Dibanding Moreno, siapalah dirinya? Dia hanya satu dari sekian siswa yang tergolong hama sekolah. Tidak penting, dengan dandanan yang membuat orang memandang sebelah mata.

Bunga mawar putih itu jatuh di lantai koridor. Ia merunduk selama sepersekian detik sebelum memilih 'tuk pergi dari sana.

Dengan langkah gontai, ia menapaki anak tangga. Tujuannya kali ini hanya rooftop sekolah. Entah mengapa ada perasaan sakit yang menyayat kala melihat orang yang disukainya merespon pria lain seperti itu. Gadis itu memang terlihat dingin di luar. Tapi, Gilang tahu hanya dengan melihat dari mata gadis itu saja sudah tergambar jelas, bahwa ada rasa rindu dan penyesalan di sana. Dan Gilang yakin itu.

"Gilang?" Pria itu hampir saja tersandung kakinya sendiri, jika bukan karena ia tidak cepat memegang besi panjang yang menempel pada tangga. Tangannya dingin, bahkan sangat serasi ketika dengan erat ia menangkup besi pembatas itu.

"Eh, maaf? Apa saya kenal kamu?" Gilang bertanya gugup. Dengan sebelah tangannya, ia memperbaiki letak kaca matanya yang sempat melorot.

"Hehe ... Maaf. Gue ngagetin, ya?" Gadis di hadapannya mencondongkan tubuh. Lantas dengan jari telunjuknya, ia menyentuh dahi Gilang. Rupanya ada memar di sana, walau tidak terlalu kentara.

"Ini kenapa? Perasaan tadi kamu nggak terbentur atau terjatuh, kamu berantem?" Gilang sempat terbelalak, namun ia dengan cepat menormalkan kembali ekspresi wajahnya.

"Kemarin saya terjatuh." Tangannya menyentuh tangan gadis itu dan menurunkannya dengan sopan. Ia jelas berbohong, karena kemarin ia sempat melakukan sesuatu yang sangat penting. Yaitu menghapus jejak teror yang ditujukan untuk gadis pujaannya. Ada begitu banyak orang yang membenci gadis itu hanya karena ia terlihat berbeda. Namun menghilang jejak-jejak itu bukanlah perkara yang sulit bagi Gilang. Hanya saja, ia takut ketahuan oleh gadisnya tentang siapa dia sebenarnya.

"Saya tidak kenal kamu. Apa kamu kenal saya?" pertanyaan itu datang dari Gilang. Ia menatap penuh selidik. Posisi mereka masih berada ditangga lantai tiga. Beruntunglah karena siswa lain sudah masuk ke kelas masing-masing.

"Kita pernah ketemu di dekat lapangan waktu itu. Lo bantuin gue nganter buku-buku yang tebalnya naudzubillah ke ruang Bu Hanin. Dan gue belum bilang makasih." Gilang tampak berpikir sebentar, lantas mengangguk. "Oh iya, sekarang saya ingat."

"Bagus, deh, Kalo udah ingat. By the way, nama gue Armeeta. Lo bisa manggil gue Meeta. Lo Gilang Wiratmaja anak XII IPA-3, 'kan?" Gadis itu mengulurkan tangannya.

Sekali lagi Gilang mengangguk. Menerima uluran tangan Armeeta sembari bertanya "Dan kamu?"

"Gue di kelas XII IPA-2. Salam kenal." Armeeta tersenyum lebar. Yang membuat Gilang sedetik kemudian membeku.

Bukan karena senyum itu terlalu manis—walau memang benar kenyataannya begitu. Hanya saja, Gilang mendadak di serang de javu. Di mana dia pernah melihat senyum selebar itu sebelumnya. Senyum yang kini tak ada lagi pada pemiliknya. Hilang, lenyap, terbang, seolah telah direnggut paksa. Yaitu dia--gadisnya, Wenindya Juliard.

The JuliardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang