SIHIR kali ini tidak perlu diragukan lagi. Ke bawah dan terus ke bawah mereka berkelebat pergi, pertama melalui kegelapan kemudian melewati kumpulan sosok samar yang berputar-putar, yang bisa jadi apa saja. Lalu situasi menjadi lebih terang. Kemudian mendadak mereka berdiri di atas sesuatu yang padat. Sesaat kemudian segalanya jadi lebih fokus dan mereka mampu melihat ke atas mereka.
"Tempat ini aneh sekali" kata Digory.
"Aku tidak menyukainya," kata Polly, sambil agak merinding.
Yang pertama kali mereka sadari adalah cahaya. Tidak seperti sinar mentari, tapi juga tidak seperti cahaya listrik, lampu, lilin, atau sumber cahaya apa pun yang pernah mereka lihat. Cahayanya samar, agak kemerahan, sama sekali tidak cerah. Cahaya itu terangnya pasti dan tidak meredup.
Mereka sedang berdiri di permukaan datar berlapis bebatuan dan gedung-gedung berdiri di sekeliling mereka. Tidak ada atap di atas mereka, mereka berada di semacam halaman. Langit gelap secara tidak wajar - biru yang nyaris hitam. Kalau kau melihat langit itu kau akan bertanya-tanya apakah memang benar ada cahaya di sana.
"Cuaca tempat ini aneh sekali ya," kata Digory. "Atau mungkin kita tiba tepat pada saat akan datang badai petir, atau gerhana."
"Aku tidak menyukainya," kata Polly.
Keduanya, tanpa tahu pasti kenapa, berbicara dengan berbisik. Dan walaupun tidak ada alasan kenapa mereka masih terus bergandengan setelah melompat, mereka tidak saling melepaskan tangan.
__________________(36)__________________
Dinding-dinding gedung menjulang sangat tinggi di sekeliling halaman. Dinding-dinding itu juga memiliki banyak jendela, jendela-jendela tanpa kaca, melaluinya kau tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan hitam. Di bagian bawah dinding ada area-area berpilar besar, menganga lebar menampilkan lubang hitam besar seperti mulut terowongan kereta api.
Suasana jadi terasa agak dingin. Batu yang digunakan untuk membangun segala hal sepertinya merah, tapi mungkin itu hanya karena cahaya misterius yang menerangi tempat tersebut. Yang pasti rasanya aneh sekali. Banyak di antara bebatuan datar yang melapisi permukaan halaman, retak hingga terbelah. Tidak satu pun menempel rapat satu sama lain dan sudut-sudut tajamnya telah cacat semua.
Salah satu pintu yang diapit area setengahnya tertutupi reruntuhan. Kedua anak itu terus-menerus membalikkan tubuh untuk melihat ke sudut-sudut berbeda di halaman. Salah satu alasannya adalah karena mereka khawatir seseorang—atau sesuatu—sedang mengawasi mereka dari jendela-jendela ketika mereka menghadap ke depan.
"Menurutmu ada yang tinggal di sini, tidak?" tanya Digory akhirnya, masih dengan berbisik.
"Tidak," jawab Polly. "Semua ini hanya reruntuhan. Kita belum mendengar suara apa pun sejak datang ke sini."
"Ayo kita coba berdiri diam sebentar dan menajamkan pendengaran," saran Digory.
Mereka berdiri diam dan mendengarkan, tapi satu-satunya yang mereka dengar hanyalah detakan jantung mereka sendiri. Tempat ini setidaknya sesunyi Hutan di Antara Dunia-dunia. Tapi sepinya berbeda. Kesunyian di hutan terasa kaya, hangat (kau nyaris bisa mendengar pepohonan bertumbuh), dan penuh kehidupan. Kali ini yang terasa kesunyian yang mati, dingin, dan hampa. Kau tidak bisa membayangkan apa pun tumbuh di tempat ini.
__________________(37)__________________
"Ayo pulang," kata Polly.
"Tapi kita belum melihat apa pun," kata Digory. "Berhubung kita sudah sampai di sini, setidaknya kita harus melihat-lihat."
"Aku yakin sama sekali tidak ada yang menarik di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chronicles of Narnia : Keponakan Penyihir (Selesai)
Fantasy"The Magician's Nephew" (Keponakan Penyihir)adalah novel fantasi anak-anak karya C. S. Lewis. Buku ini adalah buku keenam yang dipublikasikan dari ketujuh buku "The Chronicles of Narnia". Walaupun demikian, bila diurutkan secara kronologi, maka buku...