Rokok

531 81 10
                                    

Jadi, Dilan dan Rangga itu dua pribadi seperti kutub magnet. Satu selatan, satunya utara. Dilannya rebel dan tukang bolos, Rangga malah rajin dan murid teladan.

Ah, semua juga pada tahu, mah.
Tetapi, ada satu kebiasaan tidak diketahui Rangga, yang sedikit keberatan bila kekasihnya teruskan.

Dilan itu perokok. Dia baru dengar cerita ini saat Akew kelepasan bicara. Si informan kedua sebagai teman karib Dilan sampai memohon untuk tak sebutkan kalau dia pembebernya.

Tadi mau Rangga marah dan diamkan dirinya. Tetapi cara itu tak akan efektif mengingat begitu bebal Dilan kalau sudah dinasehati. Bilang iya, besoknya masih lupa.

"Rangga, jangan marah ya? Aku sekarang nggak bawa ingat. Tapi lupa...maaf boleh?"

Rangga berakhir terkecoh dan membiarkan kesalahan berlalu. Setelah disogok dengan wajah mayun melas dari remaja di bawah satu tingkat itu.

Sampai kini, dia sudah hafal kilahan Dilan. Berhubung dia tak suka memaksa orang ikuti maunya, dia pilih saja metode lain untuk terapkan jera.

Rangga memutar otak. Taktik apa lagi yang harus digunakan untuk--setidaknya mengurangi minat Dilan bermain dengan benda nikotin tersebut. Pikirnya sambil memecah fokus pada buku puisi yang tengah dibacai.

Buku sajak koleksinya yang dibawa dari toko langganan di Jakarta terkadang bisa memberi inspirasi dan solusi. Tetapi tidak kali ini.

Dia sibak lembar halaman berikutnya. Ada sebait sajak pendek dari penyair favorit, ditekuri oleh sepasang jelaga.
Satu bait, dua bait, tersapu mata. Dia gelengkan kepala. Tiga bait, empat bait, masih kurang mengena.

Tunggu, ia repetisi kembali bait pertamanya dan... ide itu datang di kepala.

Oke. Cabut kalimat di atas. Bukunya memang pemberi inspirasi dan solusi.

Rangga lekas tutup bacaan dan temui Dilan.
.
.
.
.
Lima belas menit istirahat terbuang percuma, Rangga temukan Dilan nangkring di kantin sekolah. Pantas. Dia cari tak ketemu di warung langganan Bu Eem.

Dia malah ketemu Anhar si biang kerok. Penjaga panglima tempur yang kelewat protektif. Remaja itu peka kalau bersangkutan dengan Dilan. Dia pernah dan hampir ditonjok karena ada isu berpacaran dengan sang sahabat. Padahal, itu memang sedang masa pedekate. Setelah diancam Dilan, baru dia nurut. Tak memperdebatkan hubungan dia dan ketua gengnya.

"Ngapa kau di sini?"
"Dilannya ada?"
"Heh?"

Rangga lirik sebentar kursi dalam warung. Wajah sasaran tak ada di sana. "Nggak ada? Ya sudah."

Dia tak mau banyak omong. Terlebih, menyulut sumbu marah yang terlewat tipis pada siswa pentolan di atasnya. Walau mereka seangkatan.

Remaja bersurai ikal kembali menjelajahi pandangan ke koridor hingga di belakang punggung sekolah, ada kantin. Cukup ramai. Dan yang dicari ada di antara mereka.

Dia sedang asyik ngobrol sama Piyan dan Akew. Sang siswa teladan segera mendekat.   Sampai di meja, wajah cerah terkembang senyum segera menyambutnya. Ia sapa  siswa kelas fisika tersebut.

"Dilan, ada waktu sebentar?" tanya Rangga. Tak bermaksud menghapus kilau langkah di mata deragem Dilan. Namun, dia tahu diri tak suka berbelit kata.

R A D I U STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang