Frontal

468 48 0
                                    


"Rangga, kamu tahu nggak..." Kepala bersurai hitam kecoklatan tersembul dari fokus bacanya. Ia tatap sosok yang kini berdempetan di dekatnya lekat.

"Saya nggak tahu, kamu belum cerita Dilan." Ughh...belum juga dia ngomong sudah diselaa!!
"Yah, kan ini mau kusampai kan..!" Berenggutnya tak berhasil disembunyikan. Tertangkap sorot sang pemuda lain di sana.

"Aku pernah bilang begini sewaktu di kelas, kalau seorang penulis itu tidak mengenal usia untuk menulis."
"Terus?"
"Seorang penulis itu hanya mengenal kapan dia menulis..."
"Heem, ada lagi?"
"Ada." balasan Dilan cepat. Khawatir kalau nanti dipotong dam disalah-artikan oleh sang pemuda bermanik jelaga.
"Rendra, bapakku itu... bahkan dia sempat mengukir sajak-sajaknya ketika hendak menghembuskan nafas."
Rangga hampir terbahak--tapi tertahan--pada pernyatan sepihak bapakku.  Saking cintanya dia pada sang penyair legendaris tersebut.
"Jadi, aku simpulin. Sepertinya aku nggak bisa berhenti nulis kalau ide sedang menjarah otak dan mengganggu tidurku, bahkan sampai merambat ke mimpi-mimpi..."--terlebih lagi...aku nggak bisa berhenti nulis tentang kamu...

"Hmm... nggak ada yang larang kamu buat nulis Dilan. Tidak juga saya, sebab itu hak kamu."

"Hahaha, kalo kamu sih, jelas ngizinin deh. Sumber inspirasinya memang dari--" lirikan netra itu diberikan kepada sosok dalam sandaran. Ah, Dilan melempai penutup kata. Bukan tidak berani, tetapi lebih pada dia khawatir akan reaksi Rangga yang kadang di luar prediksi. Spontanitas darinya bisa menjadi berkah sekaigus musibah. Terlebih, ketika posisi tak menguntungkan dia.

Contohnya apa? Jangan ditengok. Dilan malu. Duarius! Tapi apa daya bila lirikan itu terbalas oleh mata elang sang pujangga. Seolah dia sanggup membaca kedalaman hatinya. 

"Dari saya, kan?" Ya Tuhan, Bunda...kalau bukan karena telak menebak, mungkin Rangga sudah akan dia juluki pangeran narsis! Super pede banget. "Kebanyakannya. Iya, kan?"

Dilan berpaling segera. Tidak bisa dibayangkan bagaimana wajah berenggut malu disilangkan dengan perasaan senang. Sampai beberapa detik, dia enggan menatap Rangga. Memilih buku yang  jadi bacaannya sedari awal sebagai perisai muka. Sampai sang kekasih geli  mengamati wajahnya.

"Dilan?" 

"Sibuk baca."

"Diletakkan dulu bisa?"

"Nggak bisa."

"Kamu kok tumben jadi filosofis? Kesambet apa barusan?"

"Hmm, mungkin karena ada kamu."

Masih bertameng buku antologi puisi Rendra, dia jawab enteng. Rangga hampir melupakan bahwa menggombal sudah jadi naluriah sang preman jalanan. 

"Atau mungkin juga jiwa Renda tengah mampir di sini sampai aku berani berkata begini?" Rangga berkerut untuk satu pernyataan berbunyi tanya itu. Namun, ia masih biarkan Dilan-nya bercerita sesuka hati.

"Aku ingin sepertinya, sampai nafas terakhir, ia tetap bersyair kepada buminya. Usia dan maut tak menjadi halangan dalam bersuara di jagat raya." Dilan berangan dengan pengetahuannya. Satu kepal pemikiran diberikan kepada Rangga di dekat sana. 

"Iya, saya paham kamu fans berat Rendra. Tapi saya menolak jika kamu ingin sepertinya."
"Mengapa begitu?"
"Sebab saya tak mau kau mebagi cintamu kepada yang lain. Saya bisa cemburu--cemburu yang bisa menghanguskan matahari sekaligus."
Dilan menatap lekat pemuda di sampingnya, seberkas binar tak terdefinisi masih tergelar-- masuk ke dalam bola lensa dan merambat pelan pada pipinya.
"Dasar buaya...kau penggombal sekali hari ini."

R A D I U STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang