Gengsi Lawan Peka

330 39 0
                                    

Tegukan air dingin di tengah matahari menggagahi jalanan tak berefek leburkan gerah. Selepas jam sekolah, kaki enggan di bawa menuju rumah. Sosok pemuda melirik jauh sampai gerbang masih dikerumuni anak-anak bubaran seperti semut kehilangan sarang. Setidaknya lantai dua tak seperti di dasar sana. Lengang setelah ditinggal para penghuni.

Dilan amati sekali lagi lorong kelas. Suara kaki sudah menjauhinya. Ia menarik diri dari dinding balkon yang disandari untuk ikut beranjak. Dia belok kiri pada ruang lain, bukan turuni tangga sebagai akses pulang.

Dia mau ke perpustakaan.

Sambangi buku bacaan  masih menumpuk untuk dijilat matanya sampai tuntas. Juga pada seseorang yang sembunyikan eksistensi di setiap jam pelajaran berakhir.

Ah, lihatkan. Itu dia. Remaja lelaki bermanik jelaga di sudut rak duduk diam pada kursi favorit. Ia menekuri bacaan seolah di semesta hanya dia dan bukunya. Dilan mengiris senyum di luar kendali. Pemuda dikagumi tidak berubah sejak pertama bersua. Dua tahun lalu.

Sepuluh menit yang berlari, Dilan sudah terobos pintu masuk untuk mengendap di balik punggung pembaca yang sejak awal telah terekam lensa mata. Sengaja memilih tempat di balik sana agar dia bisa mencuri waktu amatinya. Terlebih, tempat yang dipilih tertutup pandangan para pengunjung yang berlalu lalang. Kadang, jika dia dapatkan sudut meja lain yang berhadap dengan sang muka rupawan, maka jemari kreatifnya juga bergerak untuk menggores sketsa wajah diam-diam.

Namun, berbeda dari sebelumnya, Dilan sekarang tak lakukan dua hal yang jadi kebiasaan. Tadi, sebelum mencapai posisi kini, dia raih buku bersajak milik salah satu penyair yang difavoritkan. Walau tidak untuk dibaca, hanya sebagai selingan jika dia kehabisan inspirasi.

Remaja bermanik deragem lebih memilih aktivitas lain di luar terka. Menyusun daun-daun waru merah kecoklatan dan kekuningan. Ia selipkan objek di antara lembar buku yang selalu dibawanya.

Di luar kendali, ada rasa hangat menyergap sesaat. Ia teringat kembali masa di mana dia bertanya untuk singkirkan rasa ingin tahu. Kali pertama dia mulai jatuh kepada sosoknya.

.

.

"Mengapa di antara daun-daun ini, kamu suka yang berbentuk waru. Terlebih lagi yang mengkuning hendak jatuh?"

Rangga, di sebelah sewaktu itu mengkerutkan alis. Ia tanggapi pertanyaan dengan senyum mencibir.
"Kamu tidak tahu itu, Dilan? Mau saya jelaskan?"

Dilan berenggut di tempatnya. Tak terima cibiran. Mereka, ketika itu masih terbatas pada jalin pertemanan.  Rangga yang tertarik akan kepiawaian lisan Dilan sedangkan dia tertarik pada sajak ciptaan sang kakak angkatan. Keduanya berkolaborasi dalam waktu singkat sebagai rekan sehobi. Bermain sajak dan puisi.

Di bangku taman belakang sekolah, bibir Rangga mulai berkata, "Waru, daun perdu berbentuk hati dan memerah. Itu melambangkan jantung yang berdetak, tanda akan kehidupan. Da Vinci pernah memakai daun ini dalam lukisannya saat masih mempelajari anatomi manusia."

Rangga diam sejenak untuk tolehkan pandangan kepada Dilan yang terpukau. Sepasang iris kecoklatan diamati lekat. Ada tanda tanya besar mengapit di hulu sitatap yang tak mau lepas.

"Tetapi warna yang kamu pilih tidaklah merah Rangga... "

Argumentasi sela dikeluarkan Dilan. Bersamaan dengan dia yang mengakhiri adu tatapan.

Dari cela bibir yang bicara, Dilan yakin pemuda itu sembunyikan seringai menantang.

"Itu tanda kerelaan Dilan. Bukan warnanya, tetapi kondisi diri yang sudah waktunya jatuh ke tanah."

Dilan melipat kening bingung, "Kerelaan?"

"Kerelaan untuk menerima kondisi. Tak peduli sesakit apa pun kamu melepas sesuatu yang berharga itu di hidupmu... "

Ah, Dilan memahami kerelaan yang dimaksudkan Rangga saat itu. Pujangga itu, masih belum bisa berpaling dari mantannya. Dan menjaring ingatan itu di benak Dilan, entah kenapa justru merajam detak jantungnya diam-diam.

.
.
.

Dilan terkatup sejenak pada silam yang tandang tanpa permisi. Ia lepaskan ingatan bersamaan nafas yang di buang ke udara. Detik berputar di ruang perpustakaan mengajaknya kembali fokus.  Pada sehelai kering yang kini tengah digoresi tinta hitam. Jemari lentik diajak untuk mengukir deretan kata. Hingga pda suatu nama, dia berhenti.

Rangga. Rangga Sastrowardoyo.

Nama yang disandang oleh murid teladan di seberang sana. Hari ini, dia harus tahu. Bahwa rasa yang dipendamnya, tak bisa dipendam terlalu lama. Lewat bait-bait inilah, dia akan bercerita.

Tentang dia yamg membuatnya jatuh dalam jurang cinta.

"Rangga, hari ini mari kita bersaing. Siapa di antara kita yang akan lebih dulu menyatakan cinta."
.
.
.
Di balik wajah Dilan yang tengah serius mengatur strategi. Sosok bernama Rangga tengah menumpuk lontar berukir aksara. Isinya sajak empat seuntai  yang akan diberikan kepada makhluk penguntit di belakang punggungnya sejak tiga puluh menit lalu.

"Jangan meremehkan saya Dilan. Sebentar lagi saya taklukkan kamu dengan ini."

Iya. Taklukkan Dilan yang tak peka. Bahwa cinta diam-diam ini ditujukan kepadanya.
.
.
.
.
.

a/n: Republish hasil olah prompt jugaaa, semoga kalian suka. Itu judul nggak nyambung elah, padahal isinya cinta diam-diam. #ngaciiir

R A D I U STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang