Merah. Darah.
Merah. Marah.
Merah. Jengah.Sayang, dia buta warna.
Yang tampak di sana, hanya hitam berpadu putih.
Untuk itulah, dia bunuh manusia.
Dia kucurkan warna yang bahkan tak diketahui, seperti apa wujudnya di mata.
.
.
.
Apa karena itu, dia jadi terpenjara oleh makhluk ini?
.
.
.Dia tak pernah percaya karma. Hukum alam yang ketetapannya serupa teori Newton ketiga. Di mana ada aksi, akan berimbas reaksi. Dulu ia hanya menghafal dan mempelajari sekadar sebagai materi di buku yang wajib diingat. Tanpa merenungi bahwa itu pun bisa terjadi di sela-sela hidupnya.
Sekarang, hukum alam itu mendatanginya. Mengikuti ekaistensinya!
Walau wujud hukuman yang datang, bisa berupa hal di luar nalar dirinya. Memikirkan itu, Dilan memaki pelan. Sudahi memaku di teras rusun--rumah susun--yang ditinggali. Otak tengah penat diserang terik panas di atas kepala. Derajat suhu sudah naik, berbeda dari sebelumnya Sehingga enggankan dia melangkah barang sejengkal ke jalanan.
Ia dongakkan kepala. Tatapan bertemu sang raja pagi dalam warna yang hitam menyilaukan. Ah, apa warna matahari ketika digambarkan olehnya semasa belia? Kuning? Jingga, atau mera--kepala menggeleng tiba-tiba. Ia sudah lupakan semua itu.
Bunyi kerucuk usus tiba-tiba interupsinya. Bergemuruh. Jeritkan alarm minta diisi makan. Dia lapar. Sedangkan di tempatnya tak ada kantin atau jasa antar makanan. Kalau ingin konsumsi, dia perlu menarik langkah beratus meter dulu. Tak ada angkot atau pun ojek yang berseliweran. Rumah saja sudah jarang dihuni.
Sungguh apes dia hidup di wilayah tersebut.
Lelaki berambut aswad makin menggerutu. Dia ingin kembali ke kamarnya saja. Tetapi enggan bertemu tamu yang sudah inapkan--bukan, lebih tepat selinap tanpa izin--di tempat tidurnya. Sosok itu bahkan tak mau diusir dengan sapu.
Arghh!! Kutu tengil. Kenapa sekarang dia mirip tunawisma saja? Bagaimana bisa dia mengalah pada makhluk yang tak jelas asalnya itu. Dilan memaki diri. Mungkin sudah saatnya dia beri ketegasan pengusiran yang bersangkutan. Terlebih, keberadaan sangat mengusik pria dua puluh tiga tahun tersebut.
Baiklah. Menyingkirkan cacing dan lambung yang berkeroncongan di dalam perut, Dilan putuskan untuk memanjat tangga. Kembali ke ruang pribadi yang sempat tak diakui.
Sampai di depan pintu, ia berhenti sesaat untuk mengambil segenggam benda. Terbungkus kantong flanel hitam dan diselipkan di bawah pot tanaman. Juga kunci kamarnya. Dengan hati-hati, dia melepas pengait dan membuka pintunya.
Di antara daun pintu kayu, Dilan mengintip ruang yang redup oleh cahaya. Tirai di ujung jendela tertutup rapat. Lampu lima belas watt berkedip sekarat. Bola neon bergelantungan itu terburu padam setelah ia menyusup penuh ke dalam diam-diam.
Baru kali pertama Dilan, seorang tuan rumah ngendap seperti maling. Masa bodohlah. Semua salahi si hitam penjajah ranjang. Dan akan ia pastikan bahwa ini hari terakhirnya.
Lelaki muda masih melangkah seperti kucing. Di antara geraknya, benda yang terdiri beberapa bentuk bagian di buntalan hitam dikeluarkan. Jemari dengan cekatan merakit kesatuan bagian sampai merupai senjata api.
Di saku celana, dengan hati-hati dia keluarkan bulatan putih mengkilat. Lekas ia isikan pada revolver rakitan. Setelah dirasa siap, dia tarik pengunci dan arahkan kepada siluet yang tertangkap matanya nanti.
Pupil deragem membesar di tengah gelap. Telinga ditajamkan mendengar gerak. Kedua indera berkonsentrasi tinggi tatkala ada sekelebat tubuh berayun di atas kepala.

KAMU SEDANG MEMBACA
R A D I U S
FanfictionRadius--Rangga and Dilan Universe. Semesta kecil untuk tempat mereka berdua. Untuk Radial. Kumpulan Drabble. Pendek. Boys Love. AADC © Rudy Soedjarwo Dilan 1990 © Pidi Baiq